TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Rakyat Menolak Penggusuran (KRMP) menyebut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ingkar janji. Hari ini mereka mendatangi Balai Kota untuk minta audiensi sekaligus menagih janji Anies cabut Peraturan Gubernur (Pergub) No. 207/2016 tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin yang Berhak.
Perwakilan KRMP Jihan Fauziah Hamdi menyatakan telah mengirimkan surat permintaan audiensi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
“Audiensi untuk menuntaskan dan menagih janji Anies Baswedan selaku Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk mencabut Pergub DKI 207/2016,” kata Jihan kepada wartawan di depan Balai Kota DKI Jakarta, Kamis, 4 Agustus 2022.
Koalisi telah mengirimkan Surat Nomor 01/SK.KRMP/II/2022, perihal Permohonan Pencabutan Pergub DKI 207/2016 pada 10 Februari lalu. Pada 6 April, KRMP telah melakukan audiensi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dihadiri langsung oleh Anies Baswedan.
Dalam pertemuan tersebut, dihasilkan kesimpulan dan kesepakatan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melakukan review dan membahas Pergub DKI 207/2016 bersama dengan biro hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan KRMP.
“Kemudian, melakukan moratorium pelaksanaan upaya penggusuran paksa sampai dengan ada keputusan terkait Pergub DKI 207/2016 diputuskan,” ujarnya.
Namun hingga saat ini belum ada tanggapan maupun tindakan faktual yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta atas Pencabutan Pergub DKI 207/2016.
Alasan Koalisi Desak Anies Segera Cabut Pergub Penggusuran
Alasan KRMP mendesak Pemprov DKI Jakarta mencabut Pergub DKI 207/2016 karena mayoritas penggusuran dilakukan tanpa musyawarah dengan penggunaan aparat tidak berwenang seperti TNI. Termasuk intimidasi dan kekerasan, pembangkangan terhadap upaya hukum hingga pelanggaran hak masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah.
“Hal ini tidak hanya berimbas hilangnya hunian, penggusuran juga mengancaman keselamatan jiwa, kesehatan, serta hilangnya akses terhadap makanan, pendidikan, perawatan kesehatan bahkan pekerjaan dan peluang mencari mata pencaharian lainnya,” ujarnya.
Sengketa atau konflik lahan kerap terjadi antara pihak korporasi dan pemerintah yang memiliki akses luas terhadap hukum dengan masyarakat miskin kota yang termarjinalkan.
Dalam implementasinya, kata Jihan, alih-alih melakukan inventarisasi, evaluasi, dan penertiban aset korporasi yang ditelantarkan, pemerintah justru menitikberatkan penertiban kepada masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap hak atas tanahnya.
“Menjadi jelas bahwa Pergub DKI 207/2016 ini berlawanan dengan Undang-Undang Pokok Agraria dan semangat Reforma Agraria,” ucapnya.
Pergub DKI 207/2016 itu juga menjadi bentuk penggunaan kekuasaan dalam penyelesaian konflik alih-alih menempuh prosedur hukum dan hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat bahwa peraturan tersebut tidak mensyaratkan adanya musyawarah yang berimbang dan prosedur lain sesuai ketentuan Komentar Umum No. 7 Kovenan Hak Ekosob.
Peraturan tersebut, kata Jihan, tidak memberikan kesempatan kepada warga untuk dapat menguji hak kepemilikan tanah melalui forum pengadilan, padahal ketentuan hukum perdata di Indonesia mensyaratkan hal tersebut harus dilakukan dalam penyelesaian sengketa lahan.
Selain melanggar UU TNI, Pergub DKI 207/2016 melanggar ketentuan pada Kovenan Ekosob karena tidak memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak atas perumahan dengan membenarkan tindakan penggusuran paksa, UU 48/200 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebab, penggusuran paksa dapat dilakukan tanpa melalui proses pembuktian kepemilikan di Pengadilan, serta UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.
Pergub DKI 207/2016 juga telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sebab, tidak adanya kepastian hukum dalam proses pembuktian kepemilikan dalam sengketa tanah.
Jihan mengatakan pergub itu juga menyebabkan terlanggarnya asas kemanfaatan karena melegitimasi penggusuran paksa dan membuka ruang bagi penggunaan kekerasan oleh aparat maupun pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan dan kewenangan. “Melanggar asas ketidakberpihakan karena hanya melihat dari sudut pandang pemohon penerbitan dan sama sekali tidak membuka ruang bagi warga yang terdampak untuk membela diri dan kepentingannya,” ujarnya.
Baca juga: Pemkot Jaktim dan KAI Targetkan Penggusuran Lokalisasi Gunung Antang Bulan Depan