TEMPO.CO, Jakarta - Deolipa Yumara menyikapi pernyataan pihak Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dalam penanganan kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Eks Pengacara Bharada E atau Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu itu menilai Komnas Perempuan bersikap secara non komprehensif.
“Kami yang bertandatangan di bawah ini, dengan ini berkenan menyampikan keberatan atas tindakan faktual yang dilakukan oleh Komnas HAM, sehubungan dengan penyidikan kasus meninggalnya Almarhum Brigadir Novriansyah Joshua Hutabarat,” ujar Deolipa dalam surat yang dibuat pada Senin, 12 September 2022.
Berikut enam poin keberatan yang disampaikan oleh Deolipa Yumara kepada Komnas HAM:
- Bahwa kewenangan Komnas Perempuan adalah penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak asasi perempuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005, dalam pada itu bahwa kemudian dalam penyidikan meninggalnya Almarhum Brigadir Novriansyah Joshua Hutabarat, Komnas Perempuan telah bertindak melampaui kewenangan sebagai mana dimaksud di atas.
- Bahwa berdasarkan keterangan pers bersama Komnas Perempuan dan Komnas HAM Nomor 027/HM.00/VIII/2022 tanggal 19 Agustus 2022, tentang menyikapi penetapan Ibu PC sebagai tersangka pembunuhan Brgadir J. Dan bahwa kami menemukan fakta adanya pernyatan terbuka komisioner Komnas Perempuan yang dinyatakan melalui media pemberitaan yang menyatakan adanya dugaan pelecehan seksual terhadap Ibu PC yang dilakukan oleh Alm. Bripda Novriansyah Josua Hutabarat.
- Bahwa Komnas perempuan telah bersikap dan bertindak parsial/non komprehensif, seolah-olah perempuan yang terdampak dalam kasus ini hanyalah Ibu PC yang sudah menjadi Tersangka, namun menutup mata bahwa ada perempuan lain yang terdampak dan berpotensi memperoleh kekerasan verbal/psikis baik secara langsung atau melalui media sosial, yakni Ibu kandung almarhum dan calon istri almarhum, bahwa dari segala sisi hak asasi, justru mereka lah yang perlu untuk diperhatikan sebagai kerabat dekat korban pembunuhan.
- Bahwa pernyataan ini masuk dalam dalam kategori Tindakan Faktual (vide Pasal 1 butir 8 Jo. Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan) yang melawan hukum. Sebab pernyatan tersebut tidak didasarkan pada bukti yang cukup namun hanya berupa keterangan sepihak yang berikan oleh saksi yang telah dikenakan status sebagai tersangka oleh penyidik kepolisian. Bahwa merujuk pada kewenangan yang dimiliki maka seharusnya KOMNAS Perempuan fokus pada perlindungan hak asasi perempuan yang terkait perkara ini, dan tidak mengeluarkan suatu rekomendasi tentang ada tidaknya pelecehan seksual dalam kasus yang sedang dilakukan penyidikan, dan bukan menyatakan hal lain seperti motif dan fakta lain yang masih parsial dan asumtif di luar kewenangannya.
- Bahwa oleh karenanya, merujuk pada ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Vide Pasal 48 jo Pasal 51 ayat (3), dengan ini kami mengajukan keberatan atas pernyataan tersebut dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan dengan ketentuan Pasal 2 Perma 2 Tahun 2019 mengenai Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan Dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum, Oleh Penguasa Oleh Badan dan Pejabat Pemerintahan.
- Bahwa untuk maksud tersebut, melalui surat ini, kami sampaikan kepada Ketua Komisi Hak Asasi Manusia, untuk menarik dan mengklarifikasi pernyataan terbuka tersebut, sebab tindakan tersebut adalah tindakan yang melampaui kewenangan Komisi Nasional Perempuan.
“Demikian surat ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerja samanya kami ucapkan banyak terima kasih. Salam hormat dan cinta keadilan dari kami seluruh rakyat Indonesia,” tutur Deolipa.
Baca juga: 6 Poin Aduan Deolipa ke Mahfud MD, Soal Kabareskrim dan Dirtipidum di Kasus Ferdy Sambo