TEMPO.CO, Jakarta - Warga Pulau Pari menggugat PT Holcim ke Pengadilan Swiss karena diduga berkontribusi terhadap perubahan iklim yang mengancam pulau tersebut dan penghuninya. Lewat produksi betonnya, PT Holcim dinilai sebagai salah satu perusahaan penyumbang emisi tertinggi secara global.
“Gugatan ini sesungguhnya mempertanyakan sejauh mana tanggung jawab dari Holcim sebagai pemimpin pasar industri semen di dunia yang berkontribusi signifikan terhadap perubahn iklim,” kata Kepala Divisi Kajian Hukum Lingkungan Eksekutif Nasional Walhi, Dewi, pada konferensi pers, Selasa, 20 September 2022.
Menurut Dewi, Holcim merupakan pemimpin di industri semen dunia yang merupakan penyumbang ketiga terbesar terhadap emisi global. Sedangkan Panel Perubahan Iklim Antarpemerintahan (IPCC) memperkirakan meningkatnya emisi gas rumah kaca dapat menyebabkan naiknya permukaan air laut setinggi satu meter pada 2100. Lebih dari 4 juta orang di Indonesia akan mengalami banjir tahunan dan bisa menjadi jauh lebih buruk jika terjadi runtuhnya lapisan es di Antartika.
Dewi mengatakan beban dan dampak nyata dari meninkatnya emisi gas rumah kaca itu kini dihadapi oleh warga Pulau Pari. Perubahan iklim menyebabkan tingginya permukaan air laut, badai, gelombang tinggi dan cuaca ekstrem yang mengakibatkan banjir. Hal ini mengancam eksistensial bagi pulau-pulau kecil dan daerah-daerah dengan pesisir dataran rendah.
Dalam gugatannya, kata Dewi, warga Pulau Pari menuntut PT Holcim untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 43 persen pada tahun 2030 dan 69 persen pada tahun 2040. Holcim dituntut wajib menanggung biaya tindakan mitigasi perubahan iklim yang diperlukan di Pulau Pari. Ini termasuk penanaman bakau dan pertahanan banjir. “Tentu itu kami melihatnya dari garis dasar nilai industri pada tahun 2019 dan tuntutan kita itu secara global ya” kata dia.
Dewi menyampaikan, bahwa proses gugatan itu sudah disampaikan pada Juli 2022 dan sedang ada proses konsolidasi dengan perusahaan selama 3 bulan di Swiss.
Pulau Pari Mengambil Sikap
Mustaghfirin alias Bobby, 50 tahun, Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3) yang berprofesi sebagai nelayan mengeluhkan kondisi cuaca yang sangat sulit ditebak. Ia mengatakan beberapa jenis ikan sulit untuk ditemui. Alhasil, pendapatan pun ikut berkurang.
“Berbeda dengan 6 sampai 7 tahun lalu di mana kami masih bisa memprediksi cuaca. Padahal, sebelum melaut, nelayan seperti kami harus membaca cuaca. Kondisi seperti sudah sangat merugikan kami, tidak jarang cuaca yang tadinya baik tiba-tiba di tengah perjalanan menjadi buruk sehingga memaksa kami untuk kembali ke pulau dan tidak melaut. Saya bahkan pernah hampir tenggelam karena gelombang yang tiba-tiba tinggi dan membuat perahu saya oleng.” Keluhnya.
Bobby juga mengkhawatirkan tentang ancaman dan memiliki ketakutan untuk melaut, terlebih dengan jarak di atas 15 mil. Ia takut nyawanya terancam akibat cuaca yang bisa berubah secara tiba-tiba.
Senada dengan Bobby, Edi Mulyono, 37 tahun, menuturkan Pulau Pari sudah terancam tenggelam. “Air laut terus naik, banjir rob terjadi semakin sering dan semakin besar” tuturnya.
Ia menyampaikan, banjir rob pada 2019 dan 2020 bahkan menjadi rob paling besar yang pernah terjadi selama pulau ini ditinggali. Akibat dari krisis iklim ini warga harus selalu waspada.
“Beberapa sumur bahkan sudah tidak bisa digunakan karena tercemar air laut. Warga di bagian barat dan di RT 1 juga harus meninggikan rumahnya setiap tahun.” Kata Edi pengelola sebuah guesthouse untuk wisatawan yang juga berprofesi nelayan.
ALIYYU MEDYATI
Baca juga: Banjir Rob Terparah Tahun Ini di Pulau Pari, Walhi: Solusi Palsu KTT COP26
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.