TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan belum ada kesepakatan soal pengaturan jam kerja karyawan di ibu kota untuk mengurai kemacetan. Menurut dia, usulan dari Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro Jaya tersebut masih terus dibahas.
"Usulan Ditlantas itu sedang terus dibahas, sedang beberapa kali di rapat-rapat dengan asosiasi dengan para organisasi profesi juga sudah beberapa kali rapat belum diputuskan," kata Riza Patria saat ditemui di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Ahad, 25 September 2022.
Dia menuturkan keputusan yang dihasilkan nanti tidak bisa sepihak dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun Ditlantas. Perlu berkoordinasi dengan pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan.
Riza mengatakan pihaknya juga terus bicara dengan berbagai pemangku kepentingan selain kepolisian. Walaupun hingga kini belum ada finalisasi dari pembicaraan rutin itu.
Selain itu, kata Riza, perkantoran yang banyak di Jakarta turut dipertimbangkan sebelum kebijakan dibuat. "Jadi dipertimbangkan, karena ini menyangkut perhubungan dan sebagainya, transportadi dan sebagainya, kita terus berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan. Tunggu ya," tuturnya.
Sebelumnya, Ditlantas mengusulkan agar jam kerja di Jakarta diatur untuk urai kemacetan. Pasalnya keadaan tersebut selalu terjadi pada waktu berangkat di pagi hari dan waktu pulang kerja saat sore.
APINDO Desak Pemerintah Sediakan Angkutan Umum Berkualitas
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) keberatan dengan wacana pengaturan jam kerja di Jakarta. Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO Anton J. Supit menyebut, pemerintah sebaiknya menyediakan transportasi umum lengkap dengan prasarana yang kuantitas serta kualitasnya baik.
"Sehingga masyarakat didorong untuk dapat menggunakan transportasi umum yang nyaman dan aman," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 23 Agustus 2022.
Menurut Anton, waktu kerja perusahaan swasta telah mengikuti peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Regulasi tersebut hanya membatasi waktu kerja sehari atau sepekan. Jika melebihi ketentuan tersebut, maka perusahaan harus membayar uang lembur.
Selain itu, penetapan jam kerja disesuaikan dengan kebutuhan operasional perusahaan masing-masing. Kemudian perusahaan menerbitkan Peraturan Perusahaan (PP) dan/atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Manajemen perusahaan dan serikat pekerja atau buruh harus mendiskusikan terlebih dulu dua instrumen internal perusahaan ini.
Anton menilai pengaturan jam kerja tak bisa diberlakukan di semua kantor swasta DKI Jakarta. Sebab, operasional beberapa sektor industri menyesuaikan dengan jam kerja di luar negeri, semisal bursa efek.
Contoh lain adalah perusahaan ekspor impor yang melibatkan pelbagai institusi, seperti perbankan dan bea cukai. "Penyeragaman jam masuk dan pulang kantor perlu dikaji lebih mendalam," ujar dia.
Anton mengutarakan model kerja dari rumah atau work from home (WFH) yang digabungkan dengan work from office (WFO) bisa menjadi salah satu solusi kemacetan di Jakarta. "Penerapan metode ini sudah membantu juga mengurangi kepadatan lalu lintas," ujar dia.
Baca juga: Usulan Pengaturan Jam Kerja di Jakarta, Pemprov DKI Bakal Gelar Uji Publik