TEMPO.CO, Jakarta - Onih, 42 tahun, duduk di depan rumahnya. Ia memandang kosong ke depan. Mulutnya sibuk mengunyah sepotong roti. Tatapannya tampak kosong.
"Ini saya datang lihat yang kecil, terus beres-beres, nanti balik lagi," kata dia ketika ditemui Tempo di kediamannya di Jalan Gunung Sahari 7A, Kelurahan Gunung Sahari Utara, Jakarta Pusat, Kamis, 5 Januari 2023.
Di sampingnya, segelas minuman berwarna cokelat kental, satu batang rokok ia taruh di lantai. Lalu, ia mengambil korek, sekilas asap mengepul. Satu-per satu orang menengok sambil mengucapkan syukur kepada Onih, yang putrinya ditemukan setelah dibawa penculik selama 26 hari.
"Ni, anak kamu di mana?" kata seorang perempuan bertubuh tinggi, uban, sambil menenteng barang belanjaan.
"Masih di rumah sakit. Masih perawatan."
"Rumah sakit mana?"
"Polri Keramat Jati."
"Kamu enggak tungguin di sana?"
"Baru sampe! Dari kemarin enggak pulang-pulang."
***
Pertama kali bertemu MA setelah ditemukan, Onih melihat putrinya tampak lemas, pucat, dekil, dan kurus. MA pun ketakutan ketika mendengar omongan dengan suara keras. "Kita ngomong kenceng aja, nangis," kata perempuan 42 tahun itu.
Yang tidak berubah dari tubuh bocah itu adalah semenjak diboyong dari rumah dan 26 hari hidup dalam penculikan, ia masih mengenakan kaus berwarna hijau muda, sandal putih dengan pita di atasnya. Saat berjumpa di rumah sakit, MA berteriak sambil menangis. "Ibu, jangan tinggalin aku lagi, aku sayang Ibu," ucap Onih, meniru MA.
Onih cerita anak sering minta diantar pulang...