TEMPO.CO, Jakarta - Kekerasan pada anak di DKI Jakarta kerap terjadi, dan menjadi salah satu isu penting masyarakat urban Jakarta. Padahal, penindakan oleh polisi, aksi kelompok masyarakat pembela anak, dan pelbagai kampanya antikekerasan anak sangat sering dilakukan di Jakarta. Bagaimana kajian dan para ahli menjelaskan tingginya problem kekerasan anak di masyarakat urban seperti Jakarta ini?
Dalam data pemerintah yang dilampirkan di Peraturan Presiden Strategi Penghapusan Kekerasan Pada Anak (Stratnas PKTA) Nomor 101 Tahun 2022 disebutkan, kasus kekerasan terhadap anak terus bertambah dalam rentang tahun 2016 - 2020.
Pada 2016, jumlah kasus kekerasan dilaporkan sebanyak 7.879 kasus dan meningkat menjadi 10.770 pada tahun 2020. Kasus kekerasan terbanyak dilaporkan pada tahun 2017 dengan 12.347 kasus.
"Perkembangan kasus Kekerasan terhadap Anak di Indonesia Tahun 2016-2020 berdasarkan jenisnya, secara berturut-turut menunjukkan kasus tertinggi pada jenis Kekerasan seksual, fisik, psikis, dan penelantaran," bunyi lampiran Perpres Stratnas PKTA.
Adapun jenis kekerasan yang dialami oleh anak-anak itu paling banyak masuk dalam kategori kekerasan seksual, fisik, psikis, dan penelantaran. Lalu usia yang paling banyak mendapat kekerasan fisik adalah anak-anak di rentang usia 13 - 17 tahun, 6 - 12 tahun, dan 0 - 5 tahun.
Sementara khusus DKI Kekerasan pada Perempuan dan Anak juga mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Dinas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta, pada 2022 terjadi peningkatan. Korban yang datang melapor pada 2019 sebanyak 1.179, 2020 sebanyak 947, 2021 sebanyak 1.313, naik lagi dan 2022 sudah 1.278 per Oktober.
“Data tersebut belum termasuk jika ada korban yang tidak melapor,” ujar Kepala Dinas PPAPP DKI Jakarta, Tuty Kusumawati saat dalam acara talkshow bersama TransJakarta pada 20 November 2022 di Jakarta.
“Bagi yang melihat, mengalami itu jangan takut melapor. Karena saksi dan korban itu dilindungi. Laporannya kami lakukan dan tindak lanjuti,” tegasnya.
Tuty menegaskan korban yang melapor akan ditindaklanjuti dengan pemberian pendampingan serta bantuan hukum. “Kami telah menyediakan tenaga-tenaga untuk pendampingan dan hukum yang sudah bisa berbahasa isyarat,” ujar dia.
Baca: Ini Kiat Berinternet Aman Untuk Anak Demi Menghindari Kekerasan Daring
Dari Ponsel Sampai Tekanan Ekonomi
Wakil ketua Umum Perhimpunan Perempuan Lintas Profesi Indonesia (PPLIPI) bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kartika Yudhisti pernah mengatakan kepada Tempo, anak-anak seharusnya merasa aman dan nyaman dengan orang-orang yang berada di dekatnya.
Namun kenyataannya dalam sejumlah kasus, anak-anak ini menjadi korban kekerasan orang-orang yang berada di dekatnya. Kartika juga mengungkapkan tingginya kasus perundungan berkorelasi erat dengan penggunaan ponsel di kalangan anak-anak.
Anak-anak begitu akrab dengan gadget memunculkan sejumlah kasus perundungan yang menimbulkan trauma yang mendalam. "Kami sengaja menghadirkan ahli hukum dalam edukasi ini mengingat pelaku dan korban sama-sama anak-anak," kata Kartika dalam kegiatan edukasi warga DKI Jakarta untuk mencegah kekerasan terhadap anak di Jakarta, pada 7 Agustus 2022.
Karena itu, pihaknya mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI untuk meningkatkan pendidikan ekstra kulikuler agar anak-anak tak terpaku kepada ponsel.
Sementara itu, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (I2) Rustika Herlambang pernah memaparkan hasil kajian media yang bertajuk Anak-Anak dalam 'Laut Hitam' Kekerasan di Jakarta.
Rustika mengungkapkan bahwa para pelaku kekerasan terhadap anak justru adalah orang-orang yang dekat dengan korban, yang seharusnya menjadi pelindung. “Pelaku kekerasan terhadap anak didominasi oleh orang tua dan guru,” kata Rustika.
Dalam siaran persnya, Rustika menyebutkan, selama periode 2012 sampai dengan Juni 2015, pemberitaan soal kekerasan oleh orang tua kepada anak lebih tinggi daripada kekerasan yang dilakukan oleh guru.
Dia menerangkan sepanjang tahun 2015, pemberitaan kekerasan anak yang dilakukan orang tua mencapai 3.235 dan kekerasan oleh guru sebanyak 709. Pada 2014, kekerasan yang dilakukan orang tua mencapai 4.308 dan guru 2.312. Menurutnya, hal yang sama juga terjadi di tahun 2012 dan 2013.
Sementara itu, ada keterkaitan antara pelaku dan penyebab kekerasan pada anak yang terekspos media. Penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor eksternal atau sosial yaitu kemiskinan (223 berita), masalah keluarga, masalah sosial (80 berita), gangguan jiwa pelaku kekerasan (105 berita), dan rendahnya pengetahuan pelaku kekerasan akan efek tindakannya.
"Tampak dalam pemberitaan media sepanjang tahun 2013 sampai semester awal 2015, bahwa kemiskinan atau tekanan ekonomi merupakan faktor utama penyebab kekerasan pada anak," katanya.
Dengan hasil analisa ini, Rustika turut berharap agar perkembangan situasi perekonomian yang masih belum stabil di tahun ini, orangtua selalu mengingat agar anak tidak lagi menjadi korban kekerasan akibat faktor di luar dirinya sendiri.
Baca juga: Anak Korban KDRT Eks Petinggi Perusahaan Menjalani Konseling Berkala
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.