TEMPO.CO, Jakarta - Penerapan aturan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) dikritik sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Jika pemerintah DKI Jakarta mau mencegah macet di titik tertentu dengan program itu, maka ketersediaan transportasi publik harus memadai.
"Instrumennya bagus, tapi enggak tepat kalau diterapkannya sekarang," kata anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Anthony Winza Probowo, kepada wartawan di Ruang Rapat Komisi B, Kamis, 19 Januari 2023.
Anthony pesimistis dengan niat pemberlakuan jalan berbayar, yang kini digodok penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dengan dalih mencegah kemacetan. Hal ini berhubungan dengan sarana transportasi umum di Jakarta yang masih minim.
Baca juga: Pengamat Sebut Heru Budi Tak Punya Beban Politik untuk Terapkan Tarif ERP Jakarta
Dia mencontohkan Singapura, yang juga menerapkan jalan berbayar. Namun, di negara itu pelayanan transportasi umum sudah memadai. Sehingga masyarakat berjalan kaki 500 meter, kata Anthony, bisa mendapatkan kendaraan umum yang memadai.
Bukan saja kendaraan, melainkan rel transportasi pun terfasilitasi secara menyeluruh. Ini berbeda dengan DKI Jakarta yang jumlah transpirtasi umum seperti MRT yang masih terbilang minim.
"Kalau di Jakarta MRT masih sedikit sekali, belum ful. Belum komplet," ujar politisi Partai Solidaritas Indonesia itu. Menurut dia, jika pemerintah mau mencegah kemacetan di Kota Jakarta, maka konsep yang perlu dibikin seperti Singapura. Perbanyak transportasi umum.
Sebelumnya dikabarkan Pemprov DKI masih membahas aturan jalan berbayar elektronik atau ERP di Ibu Kota. Bahkan diusulkan aturan ini tidak hanya berlaku untuk mobil, tapi juga sepeda motor. Jalan yang masuk rute jalan berbayar berjumlah 25 titik.
Tolak Rencana Tarif Jalan Berbayar ERP, PKS Singgung Masalah Ekonomi dan Ancaman Krisis
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejatera DPRD DKI Jakarta Achmad Yani mengatakan, partainya menolak pembahasan dan penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP). Sebab, ekonomi masyarakat belum pulih, apalagi adanya ancaman krisis.
“Waktunya tidak tepat, karena perekonomian masyarakat belum pulih dan adanya ancaman krisis,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 19 Januari 2023.
Yani menuturkan penolakan itu mengacu pada masukkan masyarakat yang merasa rencana tarif ERP justru membebani ekonomi rakyat. Menurut dia, cakupan ruas jalan berbayar yang termaktub dalam draf Rancangan Peraturan Daerah juga terlalu luas.
Anggota Komisi B Bidang Perekonomian DPRD DKI ini khawatir pembatasan jalan tersebut bakal menyulitkan masyarakat. Apalagi belum jelas bagaimana penentuan waktu pemberlakuannya.
"Kebijakan ERP tersebut jangan dipaksakan. Apalagi kalau IKN betul-betul diterapkan, masih banyak alternatif lain yang tidak membebani masyarakat dalam upaya mengatasi kemacetan," jelas dia.
Fraksi PKS, dia melanjutkan, telah memberikan pemandangan umum mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PPLSE) pada Juli 2022. PKS akan menolak jika konsep tarif ERP masih seperti yang tercantum dalam draf Raperda tersebut.
Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Ismail menambahkan, Raperda soal jalan berbayar ERP masih harus dibahas dalam Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda). Menurut dia, banyak aspek krusial yang perlu dikritisi.
Misalnya, siapa yang akan mengelola hasil pungutan tarif ERP hingga peruntukkan uang tersebut. Kemudian dampak terhadap masyarakat yang masih mengandalkan kendaraan bermotor untuk melakukan aktivitas ekonomi.
"Berpotensi terjadinya kemacetan baru di titik-titik lain akibat menghindari ruas jalan ERP,” ucap politikus PKS ini.
Baca juga: Jalan Berbayar Akan Diterapkan di Jakarta, Bagaimana dengan Kapasitas Angkutan Umum?