TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi menilai ada kekeliruan dalam penanganan kasus pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang disangkakan terhadap dua aktivis Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar.
Kepala Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS Andi Muhammad Rezaldy mengatakan, kasus ini tampak dipaksakan karena mempersoalkan kritik dari aktivis Hak Asasi Manusia atau HAM.
"Kami menilai, Penyidik dari Polda Metro Jaya dan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah keliru dalam kasus ini. Tindakan Fatia dan Haris tidak dapat dipidanakan karena masih tergolong kritik yang sah terhadap pejabat publik, sekaligus bentuk partisipasi publik dalam rangka pengawasan pemerintahan," kata Andi dalam keterangan tertulisnya, Senin, 6 Maret 2023.
Kasus ini dianggap mengkriminalisasi Aktivis HAM Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar soal kritik terhadap Luhut. Soal kritik sah dan partisipasi publik, diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dari keterangan Andi, kasus ini semestinya tidak dilanjutkan jika Polri dan kejaksaan tunduk pada Surat Keputusan Bersama Nomor 229 tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi UU ITE.
"Telah secara jelas dan tegas menyatakan bahwa bukan sebuah delik pidana apabila berbentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan," ujar Andi Muhammad.
Kasus ini diproses oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya selama satu tahun enam bulan, kini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dari waktu tersebut dianggap ada kesan keraguan dari polisi dan jaksa dalam melihat ada atau tidaknya unsur pidana dalam perkara Fatia dan Haris.
Selain itu, Andi menjabarkan bahwa Surat Keterangan Komnas HAM nomor 588/K-PMT/VII/2022 pada Juli 2022 menyatakan Fatia dan Haris merupakan pembela HAM. Jika dihubungkan dengan kritik keduanya yang terkait lingkungan di Papua, maka mereka dilindungi oleh Pasal 66 tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Isinya adalah “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Kemudian ada Bab VI Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan, apabila tindakan yang dilakukan menjadi bagian dari memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, maka penuntut umum harus menutup perkara tersebut demi hukum dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).
"Oleh karena itu kami mendesak kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menghentikan perkara ini demi hukum," tutur Andi.
Jika dipaksakan, maka aparat dinilai menjadi aktor dalam menyempitnya ruang kebebasan. Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi menganggap kebebasan berekspresi dan berpendapat atau sikap kritis rakyat terhadap pejabat publik tidak boleh dibungkam aparat penegak hukum melalui penerapan pasal-pasal karet.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LBH Jakarta, Amnesty International Indonesia, KontraS, LBH PP Muhammadiyah, ICJR, TATAK, LBH Sulteng, YLBH Sisar Matiti Manokwari, Lokataru Foundation, PAHAM Papua, PBHI, PUSAKA, PAKU ITE, IM57+ Institute, Trend Asia, AJI, LBH Pers, WALHI, LBH Masyarakat, Asian Human Rights Commission/AHRC, dan KIKA dan AJAR.
Pilihan Editor: Polda Metro: Berkas Laporan Luhut Terhadap Haris Azhar dan Fatia Dinyatakan P21