TEMPO.CO, Jakarta - Kondisi D, 17 tahun, korban penganiayaan Mario Dandy Satriyo terus membaik. Alto Luger, paman korban, mengatakan keponakannya sudah bisa miring dan sepekan terakhir sedang mengikuti proses fisioterapi untuk berdiri.
“Jadi, secara fisik D itu sudah jauh lebih baik dari beberapa minggu sebelumnya. Seperti yang di-capture media sosial saya maupun ayah D,” katanya saat dihubungi Tempo, Selasa, 28 Maret 2023.
Alto mengatakan berdiri yang dimaksud menggunakan alat yang bernama tilting table. “Jadi, dia memang harus dibiasakan dilatih bisa tegak. Supaya otot-otot, sendi kaki. Karena dia sudah tidur selama satu bulan lebih,” ucap dia.
Kondisi saraf D, kata Alto, tidak ada perubahan dan masih belum bisa mengenali lingkungan. D diketahui menderita cedera parah di kepala setelah dianiaya oleh Mario Dandy. “Lebih dari anak kecil karena anak kecil masih bisa merespons. Ini dia enggak bisa respons apa-apa,” ucap dia.
Sementara itu, pengacara D, Mellisa Anggraini, saat ditemui di Polda Metro Jaya juga menceritakan kondisi terkini kliennya. Ia menuturkan kondisi D ke depan menurut belum memungkinkan untuk mendapatkan pembelajaran sekolahnya.
“Tadi dokter menyampaikan kondisinya tidak memungkinkan menerima pendidikan. Dalam waktu singkat mungkin satu tahun ke depan belum memungkinkan. Tapi kita tidak tahu kuasa Tuhan,” katanya.
Kejagung Nilai Restorative Justice untuk Mario Dandy Tak Penuhi Syarat
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora Latumahina oleh Mario Dandy Satriyo tidak memenuhi syarat untuk diselesaikan lewat mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice.
"Hal ini dikarenakan ancaman hukuman pidana penjara melebihi batas yang telah diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020," kata Ketut dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu, 18 Maret 2023 dikutip dari Antara.
Menurut Ketut, tersangka Mario Dandy Satrio dan Shane Lukas tidak layak mendapatkan restorative justice karena perbuatan penganiayaan yang dilakukannya diancam hukuman melebihi aturan restorative justice yang diterbitkan oleh Jaksa Agung.
Selain itu, perbuatan kedua tersangka dianggap keji dan berdampak luas di masyarakat.
"Perbuatan yang dilakukan oleh tersangka sangat keji dan berdampak luas baik di media maupun masyarakat, sehingga perlu adanya tindakan dan hukuman tegas bagi para pelaku," kata Ketut.
Sementara itu, untuk AG yang ditetapkan sebagai pelaku anak yang berkonflik dengan hukum, Ketut menjelaskan undang-undang tentang sistem peradilan pidana anak mewajibkan aparat penegak hukum agar setiap jenjang penanganan perkara pelaku anak, untuk melakukan upaya-upaya damai dalam rangka menjaga masa depan anak yang berkonflik dengan hukum yakni diversi bukan restorative justice.
Meski demikian, diversi hanya bisa dilaksanakan apabila ada perdamaian dan pemberian maaf dari korban dan keluarga korban. "Bila tidak ada kata maaf, maka perkara pelaku anak harus dilanjutkan sampai pengadilan," ucap Ketut.
Pilihan Editor: Mario Dandy Sebar Video Penganiayaan, Kuasa Hukum Korban: Arogansinya Mencapai Langit Ketujuh