TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, mengatakan tuntutan hukuman mati untuk Inspektur Jenderal Teddy Minahasa Putra dalam kasus peredaran narkoba sudah tepat.
Menurut dia, itu sebagai pembelajaran untuk semua orang apalagi Teddy merupakan aparat kepolisian yang seharusnya memberantas peredaran narkotika. "Secara filosofis ini dampaknya kejahatan serius," ujar Asep saat dihubungi, Sabtu, 1 April 2023.
Teddy didakwa memerintahkan eks Kapolres Bukittinggi Ajun Komisaris Besar Dody Prawiranegara untuk menyisihkan 5 kilogram sabu dari total 41,4 sabu hasil pengungkapan kasus oleh Polres Bukittinggi. Sabu tersebut ditukar dengan tawas.
Teddy Minahasa dianggap melanggar Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dari pasal itu, jaksa menilai Teddy harus dikenakan hukuman maksimal.
Menurut Asep, masyarakat tidak ingin berkompromi dengan pelaku kasus narkotika. "Sekarang hampir seluruh masyarakat Indonesia kalau narkoba gak ada kompromi, hukumannya maksimal, terlepas pro kontra hukuman mati," kata mantan hakim itu.
Ditambah lagi keterangan saksi-saksi dan bukti memiliki kesesuaian dan mengarah pada keterlibatan Teddy Minahasa. Meskipun sejak awal tim pengacara meragukan kebenaran keterlibatan kliennya.
Teddy sempat mengajukan eksepsi atau keberatan atas dakwaan jaksa dan menganggap sebenarnya batal demi hukum. Namun, majelis hakim menolak dan memutuskan perkara tetap dilanjutkan.
Asep Iriawan menuturkan jika tim pengacara mengajukan pleidoi yang mengungkit soal surat dakwaan batal demi hukum lagi, maka itu sudah tidak tepat. Fokusnya pun mesti kepada pembuktian dakwaan. "Kalau putusan akhir itu katakanlah dakwaannya enggak bener, bukan batal demi hukum. Tuntutan tidak dapat diterima," tutur Asep.
Namun, dia berkeyakinan nantinya pertimbangan hakim dalam pembuktian sama dengan Jaksa Penuntut Umum. Sehingga, hukuman mati sebagai kepastian hukum untuk perkara Teddy Minahasa walau masih ada perdebatan soal pidananya.
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum menilai Teddy tidak memiliki hal yang meringankan. Dari delapan poin yang memberatkan, salah satunya dia tidak merasa bersalah atas perbuatannya itu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menuturkan, perwira tinggi Polri itu adalah pelaku intelektualnya. Meski Teddy banyak menyangkal selama pemeriksaan saksi dan terdakwa.
"Terdakwa adalah pelaku intelektual (intelectual dader) atau pelaku utama dari seluruh perkara yang ditangani di kejaksaan, sehingga hukumannya harus lebih berat daripada terdakwa lainnya," ujar dia dalam keterangannya, Kamis, 30 Maret 2023.
Hotman Paris Hutapea selaku pengacara Teddy menuturkan tuntutan itu berlebihan. Saat pledoi nanti akan mempersoalkan pelanggaran Hukum Acara Pidana yang semestinya bisa membuat surat dakwaan batal demi hukum.
"Kami nanti akan terutama fokus ke arah pelanggaran hukum acara yang serius yang menurut Undang-Undang Hukum Acara tidak boleh dilanggar, akibatnya dakwaan batal demi hukum," kata Hotman usai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis, 30 Maret 2023.
Pilihan Editor: 6 Alasan Jaksa Tuntut Hukuman Mati Teddy Minahasa