TEMPO.CO, Jakarta - Saksi meringankan, Ahmad Ashov Birry, menjelaskan latar belakang pembuatan kajian Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya yang dibahas dalam video podcast Haris Azhar. Dalam podcast ini, Haris mendiskusikan isi kajian tersebut bersama dengan mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti.
“Latar belakang adalah ada rencana penambahan pasukan operasi militer di Papua yang kami khawatirkan akan meningkatkan eskalasi konflik terhadap warga sipil,” kata anggota Trend Asia itu saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin, 4 September 2023.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan Haris dan Fatia ke Polda Metro Jaya atas kasus dugaan pencemaran nama baik. Luhut memperkarakan dua aktivis itu sehubungan dengan video podcast keduanya yang mendiskusikan kajian Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya.
Ashov melanjutkan alasan lain pembuatan kajian tersebut karena adanya surat Pemerintah Kabupaten Intan Jaya berisikan sebanyak 1.237 pengungsi terpaksa harus kabur karena khawatir menjadi target salah sasaran konflik. Dari angka tersebut, 331 di antaranya perempuan dan anak.
“Dan dua tahun terakhir laporan itu diterbitkan, ada 34 orang meninggal dan luka-luka kebanyakan dari warga sipil, tapi ada dari TNI, Polri, dan TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat),” tuturnya.
Tak hanya itu, Ashov juga mengkhawatirkan dampak dari pertambangan, lingkungan ekonomi lokal, dan sosial akan berlangsung dalam jangka panjang. Menurut dia, alasan digarapnya kajian tersebut juga untuk menuntut agar kekerasan di Papua segera dihentikan.
“Dan juga latar belakangnya adalah operasi militer yang berlangsung dalam kurun waktu tersebut ilegal karena tidak didasari keputusan presiden dan persetujuan DPR,” ucapnya.
Di dalam ruang sidang, salah satu penasihat hukum Haris-Fatia menanyakan apa jawaban yang diharapkan para penyusun setelah kajian itu terbit. Pertama, Ashov menjelaskan, pihaknya ingin mengetahui apakah pasukan militer yang dikirim ke Papua bertugas untuk melindungi warga sipil atau justru memperparah konflik.
Kedua, mempertanyakan apakah ada kepentingan bisnis atau ekonomi di balik penempatan militer di Papua. “Pertanyaan itu muncul karena sejak awal kami membangun sebuah asumsi. Asumsi didasari kajian literatur bahwa di balik penempatan militer selalu terselip kepentingan ekonomi,” begitu penjelasan Ashov.
Dia kemudian memaparkan contoh kajian lain yang memperkuat asumsi tersebut. Kajian pertama diambil dari sebuah jurnal yang mengungkapkan banyak serdadu memperoleh keuntungan dari perdagangan ganja sewaktu perang Aceh.
Kajian kedua adalah informasi soal keuntungan yang diperoleh PT Pindad dari penjualan peluru selama masa konflik perang Ambon. Terakhir, kajian cepat milik Giorgiunus Adiconro yang mengungkapkan beberapa bentuk bisnis militer.
Contohnya, penempatan perwira atau personel aktif TNI dan Polri di korporasi, lalu terjadi bisnis kelabu. “Seperti ya palak memalak, penjualan narkoba atau perdagangan hewan langka, dan lain-lain,” tuturnya dalam sidang kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan.
Pilihan Editor: DKI Sebut Tilang Uji Emisi Digelar Setiap Hari Sesuai Perintah Luhut Binsar ke Kapolda Metro