TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Perdata Universitas Gadjah Mada (UGM) Annisa Syaufika Yustisia Ridwan merespons soal gugatan Almas Tsaqibbirru terhadap Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka ke Pengadilan Negeri Surakarta. Almas menggugat Rp 10 juta karena Gibran dianggap wanprestasi usai tak berterima kasih ihwal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat Gibran menjadi cawapres.
Annisa mempertanyakan soal dasar hukum gugatan Almas melawan Gibran. Tanpa perjanjian yang mengikat keduanya, ujar Annisa, AlmasTsaqibbiru tak bisa melayangkan gugatan atas perkara wanprestasi terhadap Gibran.
"Kalau mau gugat perdata, apalagi goal-nya mau minta ganti rugi, itu kan harus masuk perikatan, apalagi ini gugatan wanprestasi. Kalau wanprestasi harus ada kontraknya. Kalau dia enggak ada kontraknya, ya sudah, enggak bisa." kata Annisa saat dihubungi TEMPO, Kamis, 1 Februari 2024.
Ahli hukum perdata itu juga menegaskan bahwa wanprestasi pada dasarnya merupakan pelanggaran kewajiban kontraktual. "Bagaimana ada kewajiban kontraktual kalau kontraknya enggak ada?" ujarnya.
Annisa juga menyoroti permintaan ucapan terima kasih yang diinginkan Almas Tsaqibbiru dari Gibran. Menurut dia, tidak kewajiban secara hukum bagi seseorang untuk berterima kasih. "Secara hukum perikatan tidak ada kewajiban," ucapnya.
Tak hanya itu, Annisa juga menyinggung soal permohonan Almas ke MK. Bagi dia, permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Almas sebenarnya merupakan kepentingan dirinya sendiri sebagai pemohon. "Karena dia punya legal standing, seharusnya ketika dikabulkan, kepentingannya sudah tercapai," ujarnya.
Annisa juga menjelaskan bahwa secara teori ada perikatan alamiah yang pemenuhannya tak bisa dibawa ke pengadilan. Dia memberi contoh juru parkir lalu lintas yang kerap menerima upah atas jasanya membantu pengguna jalan. "Itu kan kadang orang ngasih uang ya. Tapi kalau enggak ngasih uang, ya enggak apa-apa kan," katanya.
Sebelumnya, Almas Tsaqibbirru mengaku rugi Rp 10 juta untuk membayar advokat saat mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Almas itu pun dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Almas menggugat Gibran agar membayar ganti rugi Rp 10 juta secara tunai dan seketika dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak hakim nanti memutuskan.
Perkara ini sendiri bermula karena Almas menilai Gibran tak memberikan apresiasi kepadanya atas kemenangan permohonannya di MK. Dia membandingkan sikap Gibran itu dengan Universitas Surakarta (UNSA) yang justru memberi beasiswa kepada Almas.
Tak hanya itu, Almas juga menyinggung soal Gibran yang pernah mengucapkan terima kasih kepada pendukungnya ketika mengikuti kontestasi Pilkada Surakarta. Oleh karena itu, sambung Almas, Gibran seharusnya mengucapkan terima kasih kepadanya karena membukakan pintu menjadi cawapres pendamping Capres Koalisi Indonesia Maju (KIM) Prabowo Subianto dalam kontestasi Pemilu 2024.
"Tergugat tidak pernah mengucapkan terima kasih kepada penggugat, maka dengan demikian tergugat telah melakukan wanprestasi kepada penggugat," kata Arif Sahudi, kuasa hukum Almas, dalam surat gugatan yang diterima PN Surakarta, Senin, 29 Januari 2024.
Dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Surakarta, perkara itu tercatat dengan nomor registrasi 25/Pdt.G/2024/PN.Skt dan terdaftar pada Senin, 29 Januari 2024.
Pilihan Editor: Kalah Praperadilan, KPK Tetap Lanjutkan Kasus Eddy Hiariej dan Bakal Terbitkan Sprindik Baru