TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah calon taruna, atau yang perempuan menyebutnya taruni STIP yang kecewa dengan rencana penutupan penerimaan mahasiswa baru tahun ajaran 2024-2025. Keputusan Kementerian Perhubungan didasarkan kasus kekerasan yang menewaskan seorang taruna.
Fransiskus Franklin Matutina (21 tahun) asal Nusa Tenggara Timur, Flores, harus rela cuti kuliah selama 3 bulan, untuk mengikuti rangkaian pendaftaran penerimaan mahasiswa baru Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP).
Ia mengungkapkan kekecewannya karena sudah datang dari NTT ke Jakarta, untuk mewujudkan mimpi menjadi mahasiswa STIP. "Saya sudah kuliah, tapi dengan terbukanya tes ini saya ingin sekali menjadi taruna," kata Fransiskus kepada wartawan saat ditemui di CAAIP Center, pada Rabu, 15 Mei 2024. Persiapannya untuk mengekuti tes di STIP dengan belajar, latihan fisik, berolahraga.
Untuk langkah kedepan, Fransiskus belum menentukan apakah akan kembali ke NTT atau tidak dalam waktu dekat ini, ia masih menunggu keputusan akhir dari Kementerian Perhubungan dan STIP. Dirinya berharap bisa mengejar impiannya menjadi pelaut.
Selain Fransiskus, kekecewaan ini juga diungkapkan oleh calon taruni STIP, Rhara Febriyanti, 18 tahun, asal Tanjung Pinag, Kepulauan Riau. Ia rela untuk tinggal sendiri di Indekos di Jakarta Timur, untuk mengikuti serangkaian tes penerimaan mahasiswa baru STIP tahun 2024.
Rhara mengaku sudah melakukan persiapan pelatihan fisik sejak menginjak di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). "Pas SMP udah mulai latihan fisik," kata Rhara, saat ditemui di ruangan CAAIP Center, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu, 15 Mei 2024, usai orang tua calon taruna mengadakan konferensi pers.
Pelatihan fisik Rhara dilanjutkan dengan lebih giat ketika ia sudah melanjutkan jenjang ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Olahraga sit up, push up, rutin ia lakukan untuk terus meningkatkan stamina dan nantinya lolos di seluruh rangkaian tes STIP.
Tujuan remaja 18 tahun ini memiliki keinginan kuat agar bisa menjadi taruni STIP, karena berharap bisa membanggakan kedua orang tua. "Udah sampai sini, dan sia-sia kalau enggak di perjuangin," jelas Rhara menyampaikan dengan nada bergetar menahan tangis.
Rhara juga akan tetap tinggal di Jakarta menanti keputusan akhir bagaimana nasibnya di tengah perjalanan tes seleksi. "Kalau udah ada kejelasan saya juga enggak akan pulang, pokoknya sampai semua benar-benar tuntas," jelasnya.
Calon taruni STIP lain yang juga rela merantau ke Jakarta adalah Fernanda Armadani Pratiwi, 18 tahun, asal Banjarnegara, Jawa Tengah, rela tinggal di indekos ditemani ibunda, untuk melakukan serangkaian tes di STIP.
Nanda--sapaannya, memilih STIP,karena sudah terkenal di kalangan internasional, dan sekolah pelayaran pertama di Indonesia. Adanya peristiwa kekerasan pada 3 Mei 2024 kemarin, tidak mengurungkan semangat Nanda menentukan pilihan study-nya.
Sama seperti Rhara, Nanda juga sudah melakukan persiapan pelatihan fisik sejak SMP, dan lebih memaksimalkan persiapannya di bangku SMA. "Masuk STIP itu memang harus diperjuangin," kata Nanda, melihat perjuangan kakak laki-lakinya yang masih berstatus mahasiswa di sekolah kedinasan Kemenhub itu.
Di sela-sela menjelaskan perjuangannya, Nanda sempat terhenti beberapa menit, karena tidak kuasa menahan tangis. Setelah sudah lebih tenang, ia kembali melanjutkan bagaimana perjuangan agar bisa lolos di STIP. "Saya terus latihan lari sampai pernah mau muntah, tapi habis itu udah enggak muntah lagi," jelanya.
Remaja 18 tahun ini juga mendapat nasihat dari sang kakak untuk selalu berlatih lebih giat, agar fisik bisa terbentuk, dan meningkatkan pembelajaran akademik. "Kakak saya juga cerita kalau di STIP itu ada yang jahil tapi ya emang yang lucu-lucu aja gitu, dan dia enggak pernah mengalami hal kekerasan," ujar Nanda.
Pilihan Editor: Orang Tua Calon Taruna STIP Ajukan Keberatan Keputusan Kemenhub Tak Buka Penerimaan Tahun Ini