TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyurati Mabes Polri untuk mengevaluasi penggunaan gas air mata saat pengamanan demonstrasi. Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengatakan, surat tersebut dikirimkan pada hari ini.
“Kami kirim hari ini,” kata Poengky kepada Tempo ketika dihubungi, Jumat, 30 Agustus 2024.
Dalam surat resmi tersebut, Kompolnas meminta dua hal penting kepada Polri. “Bagaimana prosedur penggunaan gas air mata saat Polri melakukan tindakan pembubaran massa aksi unjuk rasa menolak Revisi UU Pilkada tersebut,” tulis surat dengan nomor registrasi B-314/Kompolnas/8/2024 tertanggal 30 Agustus 2024.
Kedua, Kompolnas juga meminta Polri untuk menjamin profesionalitas institusi penegak hukum itu dalam melaksanakan tugasnya untuk menghindari korban jiwa akibat penggunaan gas air mata yang berlebihan.
Kompolnas juga meminta Polri mengevaluasi penggunaan gas air mata dalam penanganan demonstrasi. Kapolri, tutur Poengky, harus memimpin langsung evaluasi tersebut.
Evaluasi bertujuan untuk melihat kembali apakah pelaksanaan pengamanan oleh para personel di lapangan sudah profesional atau tidak. "Apakah tidak berlebihan dalam menembakkan gas air mata, sehingga masyarakat yang tidak ikut demonstrasi turut terkena dampaknya," katanya.
Poengky menjelaskan, gas air mata memang tidak mematikan, tapi polisi tetap harus waspada dalam penggunaannya. Jangan sampai, prosedur penanganan demonstrasi tersebut justru menyebabkan orang luka-luka atau sakit.
Polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan demonstrasi Kawal Putusan MK atau revisi UU Pilkada di berbagai kota. Di Jakarta, demonstrasi berakhir ricuh dan polisi menangkap puluhan orang dan sudah menetapkan 19 di antaranya sebagai tersangka pengrusakan fasilitas umum.
Di Semarang, demo turunkan Jokowi di depan komplek Balai Kota dan Dewan DPRD Kota Semarang dibubarkan paksa oleh polisi pada Senin, 26 Agustus 2024. Polisi melontarkan gas air mata untuk membubarkan massa.
Situasi serupa terjadi di Makassar. Demo gabungan mahasiswa se-Makassar menolak politik dinasti Presiden Jokowi itu berakhir ricuh di bawah flyover Jalan AP Pettarani, Makassar pada hari yang sama.
Tindakan represif ini mendapat kritik keras sejumlah lembaga negara, organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Mereka menilai bahwa pendekatan kekerasan oleh aparat tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga memperburuk situasi dan mengancam demokrasi.
Respons keras dari aparat terhadap demonstran ini memicu kekhawatiran semakin semptinya ruang untuk menyampaikan aspirasi di Indonesia, terutama di tengah meningkatnya ketegangan politik belakangan ini.
Pilihan Editor: Bea Cukai Soekarno-Hatta Tangkap Turis Mesir Selundupkan 3 Bayi Siamang