”Trend kasusnya meningkat cukup tinggi,” ujar Chairman Kawasaki Center, Dr Najib Advani SpA (K).MMed (Paed), kepada Tempo, hari ini (6/12).
Najib mengungkapkan, jumlah peningkatan kasus Kawasaki tiap tahunnya meningkat berlipat lipat. Tahun 1996 sejak kasus ini mulai ia tangani terungkap lima kasus. Jumlahnya terus bertambah hingga 2007 kasus Kawasaki yang terdeteksi 50 kasus, pada 2008 tercatat 60 kasus dan pada tahun 2009 ini teridentifikasi 70 kasus lebih.
”Meningkatnya kasus bukan berarti penyakit ini mewabah. Tapi karena banyak orang sudah paham akan penyakit ini sehingga bisa terdeteksi,” kata Najib.
Najib memperkirakan kasus Kawasaki di Indonesia sebanyak 5.000 kasus per tahun. Dan yang baru terdeteksi 100 hingga 200 kasus tiap tahunnya. ”Pertanyaannya ke mana sisa yang tidak terdeteksi itu. Itu yang sangat mengkhawatirkan,” kata dia. Perhitungan tersebut, kata Najib, berdasarkan rata-rata demografik angka-angka kejadian di negara-negara tetangga seperti Jepang, Cina, dan Malaysia.
Di Indonesia, keturunan Cina berpeluang menderita Kawasaki sekitar 50 per 100 ribu penduduk, sementara warga pribumi 25 per 100 ribu penduduk. Sayangnya, kasus Kawasaki di Indonesia masih sangat awam baik di masyarakat maupun dikalangan dokter. ”90 persen dokter di Indonesia tidak tahu penyakit Kawasaki, sehingga sering terjadi salah diagnosis,” kata dia.
Baca Juga:
Ketidaktahuan masyarakat dan dokter itulah yang menyebabkan 50 persen kasus Kawasaki ditangani terlambat yang berakibat pada cacat jantung pada si penderita yang umumnya adalah anak-anak. Penyakit Kawasaki, Najib menjelaskan, menyebabkan peradangan di dalam tubuh yang mengakibatkan pembuluh darah jantung (koroner) mengalami pelebaran, lama-lama mengalami penyempitan hingga penyumbatan yang membuat terganggunya aliran darah ke jantung.
”Proses peradangan dimulai ketika demam mulai menyerang,” kata dia. Minggu kedua, jika pasien tidak segera diobati, penyakit tersebut sudah menyerang jantung.
Menurut Najib, meski belum diketahui penyebabnya, penyakit ini sudah diketahui obatnya. Obat Kawasaki tergolong mahal karena 1 gramnya saja seharga Rp 1,2 juta. Setiap pasien harus diberi obat sebanyak dua kali berat badan. ”Mencapai 30 jutaan, tergantung berat badan pasien,” kata dokter yang mengaku banyak beramal dalam membantu pengobatan bagi penderita Kawasaki dari keluarga tidak mampu ini.
Parahnya lagi, meski pasien sudah dinyatakan sembuh, pengobatan terus berjalan karena meski sudah sembuh peluang untuk terkena lagi sekitar tiga persen.
Menurut Najib, peran pemerintah saat ini sangat dibutuhkan dalam mensosialisasikan serta penanganan jangka pendek dan jangka panjang penyakit ini. ”Sejauh ini dari Pemerintah sama sekali tidak ada perhatian,”kata dia. Semestinya, kata dia, Departemen Kesehatan mensosialisasikan dan membantu pengobatan yang tergolong sangat mahal.” Kondisi sekarang sudah sangat mengkhawatirkan,” kata Najib.
Najib mengimbau agar masyarakat waspada terhadap penyakit ini. Jika anak mengalami panas tinggi lebih dari lima hari, mata, bibir dan kulit merah patut dicurigai sebagai penyakit Kawasaki.
JONIANSYAH