TEMPO Interaktif, Jakarta - Meja berbentuk segi empat dikelilingi lima kursi kosong nampak ditinggalkan pemiliknya. Tak ada satu pun yang duduk dan berbincang di sudut tempat peribadatan itu.
Rupanya sang tuan rumah tengah sibuk bersolek menyambut Tahun Baru Imlek 2561 yang tersisa sembilan hari lagi. Segala perabot berjejer menunggu dirapihkan. Begitu juga lampion, lilin, serta dupa, masing-masing ditata ulang menempati bagian bawah altar penyembahan Dewa.
Seorang lelaki berusia lebih dari setengah abad itu gusar memegang dadanya. Saksi sejarah yang juga pengurus Kelenteng Amurva Bhumi di Jatinegara ini, Saputra Koesnadi atau Soe Sen lalu menyapa ramah. Ia mengisahkan banyak hal meski penyakit batuknya acapkali mengganggu konsentrasinya bercerita.
Ia memulai ketika rezim Orde Baru berkuasa. Ingatannya menggali kenangan masa kelamnya. Sepanjang tahun itu eksistensi dan ritual peribadatan ajaran Konghucu secara terang-terangan diberangus. Masyarakat etnis Tionghoa hidup tak tenang. Tak ayal, Soe Sen dan pengikut lainnya harus nekat merayakan dengan cara petak-umpet dengan aparat kepolisian. “Pernah ada polisi yang datang kesini, mengancam kalau ada ramai-ramai, barang-barang akan diangkut,” kata dia mengenang, saat disambangi Tempo, Kamis (4/2).
Yang paling ia ingat yaitu saat kerusuhan 1998 yang disertai aksi penjarahan dan pembakaran. Kala itu, salah seorang saudaranya menjadi korban tewas dalam aksi pembakaran di sebuah gedung di Jatinegara. Untungnya, aksi anarkis tidak melebar sampai ke wilayah kelenteng. “Malah saya masih sempat lihat orang gotong-gotong kulkas dan tempat tidur. Terus saya kembali ke sini untuk berjaga-jaga,” katanya mengenang. Namun tak berselang lama, intervensi kekuasaan itu berubah haluan.
Di tangan pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid, kelenteng yang konon berusia lebih dari tiga ratus tahun itu, akhirnya bisa bernafas lega. Sejak saat itulah, ajaran Konghucu perlahan mulai diakui di Indonesia. “Sejak zaman Gus Dur, kita baru bisa merasakan kebebasan berkeyakinan,” kata penggurus lain menyambung.
Dari mulutnya mengalir, Gus Dur juga pernah menyempatkan hadir dalam sebuah perayaan keagamaan. Tak jelas waktu dan tahunnya. “Gus Dur pernah dateng ke sini. Dia menyalahkan lilin, tapi hanya lima menit,” kenang dia.
Selain Soe Sen, Anggok, 60 tahun, yang dipercayai sebagai pengajar atraksi barongsai, memiliki tiga kelompok yang berhasil dibentuknya. Kebanyakan pemain barongsai berasal dari para pemuda yang tinggal tak jauh dari kelenteng. Nantinya, pada saat perayaan Imlek, ketiga barongsai akan dibawa mengelilingi daerah Jatinegara sampai Kampung Melayu sebanyak satu putaran. Ritual semacam ini dianggap sebagai ungkapan rasa berterima kasih kepada Dewa dan sambil membagikan Ang Pao kepada masyarakat di sekitar kelenteng.
“Kalau disini atraksi barongsai diadakan tanggal 28 Pebruari. Atraksinya sendiri dimulai jam dua siang, paling lama sampai tiga jam,” kata Anggok.
Berbeda dengan Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin, di Jl Tapekong Kebayoran Lama. Disini, sebanyak delapan kelompok barongsai siap meramaikan perayaan tahun baru Imlek. Tahun ini, barongsai milik Po Hak Beng, 48 tahun, yang sudah dirintis mulai tahun 1952 telah menerima undangan tampil di pelbagai tempat. “Sampai hari ini, undangan yang sudah fix baru dua tempat, di Hotel Grand Mellia Kuningan dan Perumahan di daerah Cibinong,” kata Hok yang juga bernama Sastra Hadikusuma.
Tahun lalu, satu minggu menjelang pergantian kalender lunisolar, biasanya undangan tampil sudah mencapai lima. Tetapi hingga hari ini, belum ada permintaan lain yang datang. “Biasanya banyak yang minta dadakan, tapi kalau di hotel-hotel biasanya dipesan dari jauh-jauh hari,” kata Sekretaris Kelenteng ini.
Soal harga, ia mematok sesuai dengan jenis dan konsep dari masing-masing acara yang digelar. Secara umum, harga standar dapat dikategorikan senilai Rp 1 juta. Bahkan, tanpa dibayar pun, barongsai Hok Tek Tjeng Sin tetap bisa tampil.
“Harga tergantung dari acaranya. Ditentukan dari berapa lama waktu yang diminta dan jenis-jenis atraksi yang dipilih. Kalau gratis biasanya untuk acara amal seperti di panti asuhan,” kata Oti sapaan akrabnya.
Dahulu, ketika masa Orde Baru, pertunjukan barongsai di depan umum dilarang keras. Kegiatan dan latihan dilakukan secara sembunyi. Ancaman dari aparat kepolisian juga sempat dialami kelenteng berusia 58 tahun itu. “Sekitar tahun 80an dan 90an, polisi pernah membawa paksa peralatan disini, lilin, lampion, semuanya,” lanjutnya.
Sebelum Gus Dur mencabut Instruksi Presiden Nomor 14/1967, jumlah kelompok barongsai hanya dua kelompok. Saat itu, peralatan barongsai diimpor langsung dari Cina. Namun pasca runtuhnya Orde Baru, jumlah kelompok bertambah menjadi delapan. Karena pembuatan peralatan bisa dipesan dari Bogor dan Bandung.
Sejumlah persiapan juga nampak dilakukan sejak sebulan lalu. Mulai dari pengecatan tembok, mengganti lampion yang sudah terpajang setahun lalu, juga mendekorasi lilin raksasa yang didatangkan dari Bogor. Hiruk pikuk perayaan menyambut imlek, menurut dia, baru akan terasa satu hari sebelumnya saat para jemaat sudah mulai berdatangan. Adapun makna imlek dikatakan sebagai upacara penyambutan musim semi.
“Di negeri leluhur sana, upacara penyambutan imlek sama saja dengan menyambut musim semi,” tutupnya..
APRIARTO MUKTIADI