TEMPO Interaktif, Jakarta - Meski penerapan sistem prabayar yang diberlakukan oleh Perusahaan Listrik Negara sejak pertengahan tahun lalu menuai manfaat, salah seorang pelanggan asal Serpong justru mengeluhkan sistem tersebut. Sulitnya mendapatkan voucher di saat waktu libur, dirasa sangat menggangu kenyamanannya ketika persediaan listrik tiba-tiba habis.
Distribusi penjualan voucher yang belum merata, menurut Hari Yudhiarto, 39 tahun, kadangkala membuat dirinya harus menyiapkan persediaan pasokan listrik (voucher) agar terhindar dari mati listrik dadakan. “Kalau mau beli voucher di saat libur, saya harus menunggu kantor Pos Giro buka dulu. Ya nunggu sampai hari Senin,” keluh Yudhi ketika dihubungi, Senin (8/2).
Meski begitu, manfaat penerapan sistem prabayar tersebut juga dirasakan olehnya. Menurutnya, pengeluaran rutin tiap bulan tak terlalu menyedot kantong pribadi mengingat alat listrik yang digunakan belum terlalu mewah. “Selain bebas biaya abodemen, privasi saya tidak terganggu dengan datangnya petugas pemeriksa seperti sistem mekanik,” ujarnya.
Biaya pemasangan, kata dia, totalnya mencapai tujuh ratus ribu. Saat ini, ia memakai daya 1.200 watt. Rata-rata ia menghabiskan uang sebesar lima puluh ribu untuk lima belas hari. Tergantung dari pemakaian alat-alat listrik. “Pembelian voucher tergantung beban biaya yang digunakan. Kalau saya sebulan sekitar seratus ribu rupiah,” tutur Yudhi yang mulai berlangganan Juni 2009 lalu.
Sementara pihak PLN wilayah jaringan Menteng yang dihubungi mengatakan pembelian voucher baru bisa didapatkan di Kantor Pos dan Giro dan di Bank Bukopin. Saat ini, penerapan prabayar hanya berlaku bagi pengguna baru yang memakai daya mulai 900 watt hingga 4.400 watt.
“Untuk daya 900 watt biaya pasangnya 290 ribu, 130 watt biayanya 410 ribu, 2200 watt biayanya 680 ribu, untuk 3.500 watt biaya pasang 1,245juta, dan yang paling besar 4400 watt mencapai 1,560 juta,” kata Lia petugas layanan publik PLN.
APRIARTO MUKTIADI