TEMPO Interaktif, Jakarta - Warga Kampung Beting, Koja, Jakarta Utara, menuntut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencabut status liar di perkampungan tersebut. Termasuk segera membentuk rukun tetangga dan rukun warga.
"Supaya kehidupan di kampung ini lebih jelas, tidak seperti sekarang," kata Rosi, 56 tahun, saat ditemui di rumahnya di Kampung Beting, Jakarta, Selasa (16/2).
Warga Kampung Beting tidak diakui oleh Pemerintah Jakarta sejak 1990, karena permukiman tersebut dianggap liar. Status liar muncul akibat terbitnya Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah untuk PT Kotindo Karya pada 1976 dari Pemerintah Jakarta.
Selain diganjar status liar, wali kota Jakarta Utara ikut mengeluarkan surat edaran yang berisi larangan mendirikan bangunan di atas tanah tersebut. Akibatnya, di daerah ini tidak terdapat rukun tetangga dan rukun warga.
Rosi, wanita paruh baya yang kerap disapa Opung ini menuding status liar telah berdampak terhadap kehidupan warga yang semakin miskin. Pasalnya, warga menjadi kesulitan memperoleh jaminan kesejahteraan, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan. "Masalah ini yang membuat penjualan bayi harus terjadi," ujar Rosi yang sudah menetap di Kampung Beting selama 30 tahun.
Pernyataan senada dilontarkan Suyati, 54 tahun, yang ingin kehidupan dan status di lingkungannya diakui oleh Pemerintah Jakarta. "Meskipun gembel, kami tetap ingin dihargai," kata wanita kelahiran Yogyakarta yang tinggal di Kampung Beting sejak 1997.
Penjaja pecel keliling ini menganggap penjualan anak dengan alasan kemiskinan di lingkungannya, terjadi akibat kesalahan pemerintah. "Kalau ada perhatian, pasti ceritanya tidak seperti itu," ujar janda dua anak ini.
Meski begitu, baik Rosi, maupun Suyati, tidak menolak jika harus hengkang dari wilayah seluas 4,5 hektare yang dinyatakan sebagai tanah sengketa tersebut. Asalkan, pemerintah merelokasi mereka ke tempat yang pasti dengan status resmi.
Perwakilan Forum Bersama Penggugat Kampung Beting Ricardo Hutahaean ikut menjelaskan, warga menuntut demi mendapatkan akses terhadap program Pemerintah Jakarta dan Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Utara. "Selama ini mereka tidak pernah mendapatkan akses-akses ke situ," kata Ricardo.
Apalagi, ia melanjutkan, wilayah yang dianggap sebagai tanah sengketa itu telah diputuskan sebagai tanah negara. Dasarnya adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Jakarta Utara 2001. "Di surat itu disebutkan belum pernah ada pengajuan sertifikat atas tanah di Kampung Beting," ujar dia.
Sebelumnya, Ricardo telah menyatakan bahwa kemiskinan telah menjadi alasan utama terjadinya kasus penjualan anak di Kampung Beting. Berdasar data yang ia miliki, di Kampung Beting sudah terjadi 25 kasus penjualan anak selama kurun 1990-2010, dengan modus mengganti uang persalainan.
Mayoritas warga Kampung Beting yang terdiri dari 716 keluarga, rata-rata berporfesi sebagai buruh informal dengan upah yang sangat minim. Kebanyakan bekerja sebagai pemulung, buruh, dan pengamen. Bahkan ada pula yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial.
Kondisi daerah di belakang Islamic Center (dulu lokasi prostitusi Kramat Tunggak), itu diperparah oleh sanitasi yang buruk dan lingkungan yang kotor.
WAHYUDIN FAHMI