TEMPO Interaktif, Jakarta -
Kasus ribut tanah wakaf dan makaf Mbah Priok, membuat Haji Dani Saadih semangat mendapatkan haknya. "Saya yakin, yang hak akan memperoleh haknya, walau harus diperjuangkan,"ujarnya pada TEMPO kemarin.
Kisahnya, berawal dari dibebaskannya 37 hektar tanah warga Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara pada 1976. Tanah itu sesuai surat keputusan Gubernur DKI Jakarta akan dibuat pemakaman umum. Namun dari tanah itu dua keluarga yang belum mendapat ganti rugi, Kani binti Sepang seluas 5.750 meter kubik dan Mena binti Lamat, 4.140 meter. Tapi pada 1991, tanah itu berubah peruntukan dijual menjadi kompleks perumahan yang dibangun oleh PT.Grisenda, milik seorang konglomerat.
Melihat tanahnya perubahan peruntukan untuk komersil, ahli waris menuntut pembayaran ganti rugi sesuai standar harga pasar tanah. Perjuangan Haji Dani ada hasilnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, pada 29 Desember 2006, menyuruh pemerintah DKI Jakarta menyelesaikan dan membayar ganti rugi tanah tersebut. Namun, sampai pekan ini Gubernur belum memenuhi perintah DPRD tersebut. Haji Dani terus berjuang melaporkan penyimpangan hakim ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. bahkan sampai kini haji Dani masih terus berjuang memperoleh hak tanah ibunya Kani binti Sepang yang belum dibayar pemerintah DKI Jakarta. "Sampai saya sampai ke liang lahat saya akan perjuangkan hak saya. Ini amanat,"ujarnya gera, (AT)