Jakarta - Sekitar 350 orang memadati diskusi buku yang mencatat peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Auditorium Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (8/12).
Buku berjudul 'G30S 1965, Perang Dingin & Kehancuran Nasionalisme' tersebut ditulis oleh Tan Swie Ling, bekas tahanan politik G30S yang mendekam selama 13 tahun akibat bersaksi dalam persidangan terhadap Sudisman, Ketua Partai Komunis Indonesia tahun 1967.
Selama dalam penjara, Tan menulis dirinya mengalami penganiayaan yang brutal dan sadis. Menurut Hilmar Farid, direktur Institute Sejarah Sosial Indonesia yang menjadi salah satu pembicara, tidak terkesan unsur dendam dari buku setebal 578 halaman tersebut. "Sudah habis-habisan disiksa, habis-habisan dilecehkan, tapi komitmennya akan Indonesia tidak berubah. Ini sikap yang langka," ujarnya dalam diskusi yang dimulai sejak pukul 18.00 WIB itu.
Hal senada diungkap Ben Anderson, profesor dari Universitas Cornell, Amerika Serikat yang mengatakan Tan tidak patah hati meski juga mengalami penghinaan dan diskriminasi setelah lepas menjadi tahanan. "Buku ini adalah refeleksinya atas G30S, awal dari kehancuran nasionalisme," ujarnya.
Dari sejumlah penonton yang datang, juga terlihat beberapa tokoh bekas tahanan politik di Pulau Buru yang turut mengalami peristiwa G30S. "Buku ini tidak provokatif dan bisa menyatukan tua dan muda. Yang tua datang karena merasa terlibat, anak muda datang karena pingin tahu," ujar Tang Siu Tjeng, 67 tahun, salah satu pengunjung yang datang.
Tidak hanya bicara soal sejarah, buku ini juga bercerita soal kehidupan masyarakat Tionghoa yang menjadi sasaran dalam era Orde Baru.
Baca Juga:
VENNIE MELYANI