TEMPO Interaktif, Jakarta - Fachri Mahardi, 24 tahun, membawa misi khusus dalam keikutsertaannya di ajang pemilihan Abang None Jakarta tahun ini. Menjadi Duta Pariwisata dan Budaya bukanlah tujuan akhir Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia ini.
Fachri justru ingin mengubah citra Betawi yang identik dengan kekerasan. "Budaya betawi mulai pudar. Yang tinggal cuma kekerasan," katanya, sebelum ikut sesi wawancara Abang None Jakarta Timur di Ruang Serba Guna wali Kota Jakarta Timur, Rabu 25 Mei 2011.
Fachri menginginkan adanya kajian budaya yang diperankan abang untuk mengangkat Betawi. "Bisa dibilang orang Betawi cuma tawuran. Ini peran abang mengatasinya," ujar bekas Ketua Lingkar Studi Mahasiswa Jakarta itu.
Dalam sesi wawancara, Fachri memaparkan keinginannya untuk membangun industri alternatif khusus di Jakarta Timur. Dia mendorong pemerintah memberdayakan industri kerajinan tangan seperti ondel-ondel mini. "Pusat mebel Jatinegara juga harus go international," ujarnya.
Sementara calon none, Dessy Rismawan, 20 tahun, memandang budaya Betawi adalah warisan yang harus diabadikan. Tidak cuma simbolisasi bendanya saja, melainkan gaya hidup. "Tidak mudah memang. Namun, sebagai agen perubahan anak muda harus menyaring budaya bangsa lain agar nilai lokal tetap utuh," kata mahasiswi Jurusan Kriminolog Universitas Indonesia ini.
Kalau di Jakarta Timur para juri dibuat terkesima oleh para calon abang dan none, di Jakarta Barat proses seleksi dilakukan dengan lebih 'kejam'. Kepala Suku Dinas Pariwisata Jakarta Barat, Arie Fatah, mengungkapkan, masih banyak peserta seleksi tidak memiliki pengetahuan dasar yang mumpuni. "Ada juga peserta yang tidak tahu siapa Mahatma Gandhi atau Nurdin Halid," katanya Selasa lalu.
Kualitas itu juga didapati Ketua Dewan Juri Abang-None Jakarta Barat, Eldi Andi. “Tapi sekarang, memasuki seleksi 20 besar, peserta rata-rata sudah bagus,” katanya.
HERU TRIYONO | ARIE FIRDAUS