TEMPO Interaktif, Jakarta - "Mandi uap". Itu istilah para napi Rumah Tahanan Salemba yang melampiaskan nafsu bejatnya di tempat buang hajat. Dengan Rp 50 ribu, mereka bisa bercinta selama 20 menit di toilet penjara.
Menurut mantan napi Syarifuddin Supri Pane, kata mandi uap menggambarkan napi yang banjir keringat setelah bersanggama dengan 'jablay' di toilet. Toilet tersebut tidak memiliki kipas angin dan panas.
"Mereka bercinta di atas bangku kayu yang dialasi kardus atau koran," ujar Syarifuddin saat ditemui di rumahnya di kawasan Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur, Kamis, 17 November 2011.
Menurut pria 44 tahun ini, toilet itu ada empat. Semuanya terletak di dekat ruang besuk, belok kiri dari pintu masuk utama rutan. Di depan deretan pintu toilet, terdapat oknum napi yang berjaga. "Nanti uang bisnis itu setor juga ke oknum sipir," katanya.
Praktek bisnis lendir di toilet ini berlangsung dari pukul 09.00-17.00 WIB. Namun Syarifuddin menambahkan, pada pukul 12.00-13.00 WIB, biasanya istirahat sejenak karena ada pemeriksaan dari keamanan rutan.
Bagi yang berduit, tempat untuk bercinta tentunya bukan di toilet, tetapi di lantai dua rutan, yakni di sejumlah ruangan karyawan penjara. Ia menghitung ada 15 ruangan yang disewakan. Harganya Rp 500 ribu per 30 menit.
"Ini eksklusif. Biasanya para bandar narkoba yang menyewa," ujarnya. Di dalam ruangan karyawan itu tersedia fasilitas sofa dan pendingin ruangan. Hanya, kata dia, ruang kepala rutan, ruang kepala keamanan, dan kepala subdit bimbingan kerja tidak termasuk yang disewakan.
Syarifuddin menduga praktek seperti ini masih terjadi. Adapun sebagai mantan tahanan pemalsuan dokumen pembuatan visa, ia memandang fenomena ini sebagai hal biasa. "Faktanya memang ada. Seperti di video saya," tuturnya.
Video rekaman kehidupan Rutan Salemba dari kamera ponsel miliknya membuat Menteri Amir Syamsuddin kebakaran jenggot. Rabu, 16 November 2011 kemarin, Syarifuddin dipanggil ke Salemba. Sayangnya, video berdurasi 20 menit itu dinilai fitnah oleh Kementerian.
Kamis, 17 November 2011 siang, Syarifuddin meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Pria necis itu mengaku kedatangannya ke LPSK cuma meminta pendapat.
"Saya tidak mendapat tekanan dari siapa pun, cuma minta pendapat saja."
Ia khawatir kalau membuat laporan resmi ke LPSK akan menjadi blunder. Pasalnya, tambah dia, laporan resmi itu bisa dijadikan bahan Kementerian menuntutnya secara hukum. "Saya tidak mau itu," ujarnya.
Ia kecewa Menteri Amir tidak percaya terhadap fakta yang dia berikan. Meski begitu, dalam penilaiannya, sikap Menteri bukanlah sebagai bentuk tekanan. "Biasa saja. Saya serahkan ke masyarakat."
Kepala Subdit Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Akbar Hadi Prabowo, membantah keterangan Syarifuddin mengenai bisnis lendir itu.
"Sudah banyak perubahan di Salemba. Tidak ada bisnis itu. Bisa jadi fitnah nantinya," kata Akbar di kesempatan terpisah.
HERU TRIYONO