TEMPO.CO, Jakarta – Tak semua pimpinan partai puas dengan alasan yang dikemukakan Prijanto seputar pengunduran dirinya dari jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta setelah pertemuan antara Prijanto dan sejumlah pimpinan partai di Hotel Arya Dutta, Jakarta, pada Selasa, 27 Desember 2011.
Dalam pertemuan tersebut, Ketua DPD Golkar DKI Jakarta Priya Ramadhani mengatakan alasan Prijanto mundur karena, “Beliau kurang digunakan sehingga tidak optimal dalam bekerja. Beliau juga tidak diberikan wewenang untuk menggantikan Gubernur dalam banyak acara, sekda, dan deputi menggantikan tugas Gubernur."
Ketua DPW Demokrat DKI Jakarta Nachrowi Ramli mengatakan perbedaan pendapat antara kepala daerah dan wakilnya adalah suatu hal yang wajar. Tapi, menurut Nachrowi, yang dilakukan Prijanto tidak tepat. “Seharusnya beliau tanya, kenapa tidak difungsikan,” kata Nachrowi ketika dihubungi Tempo, Rabu, 28 Desember 2011. “Mungkin yang satu lupa, tapi yang satu lagi bisa mengingatkan,” katanya.
Alasan tak ada pendelegasian tugas kepada wakil dan tugas gubernur justru dialihkan ke sekda, juga tak cukup. “Beliau kan bisa tanya, tugas apa yang ditinggalkan selama kepala daerah pergi, atau bisa pesan oleh-oleh juga kan,” katanya.
Nachrowi juga menilai fungsi kepala daerah dan wakilnya berjalan. “Pada dasarnya kotaknya satu. Aspek manajemen (tugas) itu harus ada bukti-bukti, fungsi apa yang diberikan, tapi tidak dimanfaatkan,” katanya.
Ketua DPD PDI Perjuangan Jakarta (Plh) Djarot Saiful Hidayat menilai mundurnya Prijanto karena tidak ada aturan yang jelas dan tegas tentang pembagian tugas dan kewenangan gubernur dan wakil gubernur. “Sehingga ada kesan wagub hanya sekadar formalitas," ujarnya. Ia sepakat tak boleh ada dua matahari kembar. "Idealnya ada sinergi kepemimpinan. Bukankah di samping matahari juga ada bulan,” katanya. Djarot tak memungkiri mundurnya Prijanto terkait dengan semakin dekatnya pilkada.
Direktur Rujak Centre of Urban Studies Marco Kusumawijaya menilai alasan Prijanto mundur bukan sekadar soal pendelegasian wewenang. “Kalau cuma soal itu, saya melihatnya terlalu remeh,” kata Marco.
Menurut Marco, ada perbedaan pendapat yang tak terselesaikan dalam waktu yang lama. “Ini yang memperlambat proses pengambilan keputusan dan menimbulkan kebingungan staf. Ada dualisme,” kata Marco.
Di kalangan staf pemda, perbedaan itu membuat staf harus memilih. “Karena Prijanto masuk belakangan, jelas staf merasa lebih dekat dengan orang yang bekerja lebih lama,” katanya.
Namun, menurut dia, Prijanto seharusnya lebih berani untuk bertindak. “Bagaimanapun dia pemimpin berlatar belakang tentara. Peristiwa seperti perampokan dan pemerkosaan selama beberapa waktu terakhir, dia seharusnya tidak diam saja menunggu penugasan,” katanya. “Perkara ternyata tak sepaham bisa belakangan, kan dia pegang amanat pemilihnya,” katanya.
AMANDRA MUSTIKA MEGARANI