TEMPO.CO, Jakarta - Perayaan tahun baru Cina atau Imlek di Jakarta pada periode 1950-an diperingati dengan meriah, layaknya tahun baru zaman sekarang. Salah satu titik keramaian perayaan Imlek di Jakarta pada masa itu terletak di kawasan Pecinan sekitar Jalan Pancoran, Glodok. Maskun, 68 tahun, pengurus Apotek Bintang Semesta yang terletak di Jalan Pancoran, Glodok, menceritakan kenangannya akan Imlek masa dulu kepada Tempo pada Jumat 20 Januari 2012.
Maskun mengatakan sekitar 1950 sampai 1960-an, pada tiga hari menjelang Imlek di sepanjang Jalan Pancoran ada pasar malam yang menjual pernak-pernik Imlek. "Keramaian itu dimanfaatkan oleh muda-mudi untuk berkeliling dan saling lirik, seru sekali," ujar pria berkaca mata ini sambil tertawa. Maskun mengatakan masyarakat Tionghoa pada masa itu menyebut pasar yang dimaksud sebagai Pasar Malam Imlek.
Menurut Maskun, masyarakat Tionghoa dari seluruh penjuru Jakarta berdatangan ke Pasar Imlek tersebut. Masyarakat Tionghoa itu datang dari kawasan Jatinegara, Tanah Abang, Tanjung Priok, dan Senen. Tidak ketinggalan masyarakat Tionghoa dari Bogor dan Tangerang.
"Zaman sekarang memang Jalan Pancoran masih menjual pernak-pernik Imlek, tapi pukul 7 malam sudah sepi. Dulu sampai pukul 11 malam masih ramai," ujar Maskun. Menurut Maskun, keramaian pada kawasan Pancoran, Glodok, sekarang lebih bersifat seperti kegiatan perdagangan, bukan perayaan.
Pria kelahiran 1944 itu menambahkan bahwa pada jelang Imlek periode 1950-an Jalan Kali Toko Tiga yang terletak dekat Jalan Pancoran dipenuhi penjual bandeng. Maskun mengatakan menurut tradisi masyarakat Tionghoa bandeng adalah salah satu ikan favorit pada perayaan Imlek.
Bandeng merupakan salah satu hewan yang dijadikan persembahan, selain babi dan ayam. "Selain sebagai persembahan, pada masa itu bandeng dianggap sebagai 'kado' bagi calon mertua. Jadi pembeli bandeng saat itu bukan hanya ibu-ibu, tapi juga pria yang sudah memiliki pasangan atau akan menikah," ujar Maskun.
Menurut Maskun, sekarang sudah jarang keluarga keturunan Tionghoa yang memanfaatkan bandeng dalam perayaan Imlek atau untuk menarik hati keluarga pasangannya. "Generasi muda sudah tidak mengenal tradisi tersebut," ujar Maskun.
Hilangnya beberapa kebiasaan atau tradisi, menurut Maskun, disebabkan oleh pelarangan kebudayaan Tionghoa pada masa pemerintahan Soeharto. "Selama 32 tahun masyarakat Tionghoa tidak bisa terang-terangan merayakan Imlek, penjualan pernak-perniknya juga dilarang," ujar Maskun. Akibatnya, generasi keturunan Tionghoa yang tumbuh pada periode 1990-an akhir hanya dapat mendengar cerita-cerita dari kerabat mereka yang sudah sepuh.
Pria yang sudah 35 tahun bekerja di Apotek Bintang Semesta itu mengatakan pada masa pemerintahan Gus Dur, Pemerintah Kota Jakarta Barat sempat berupaya merekonstruksi kawasan Pancoran dan Kali Tiga seperti periode 1950-an ketika perayaan Imlek boleh dilakukan. Upaya pemerintah adalah dengan membuat bazaar Imlek dan pasar bandeng di kawasan tersebut.
"Tapi tidak berjalan lancar karena masyarakat sudah tidak mengenal tradisi tersebut. Akhirnya sekarang hanya ramai jual-beli pernak-pernik Imlek di sini," ujar Maskun. Ia menambahkan menjelang Imlek masih ada penjual bandeng di kawasan tersebut, tapi tidak seramai periode 1950-an.
MARIA GORETTI