TEMPO.CO, Tangerang - Hampir seluruh industri di Kabupaten Tangerang selama ini menggunakan air bawah tanah. Eksplorasi air bawah tanah oleh kalangan industri besar dan industri kecil yang sudah terjadi puluhan tahun ini dinilai menjadi ancaman serius terhadap lingkungan dan kondisi air di wilayah itu.
”Dari 4.000 lebih industri yang ada di Kabupaten Tangerang saat ini, 95 persen atau hampir semuanya menggunakan air tanah,” ujar Sekretaris Tim Monitoring Evaluasi dan Pelaporan Kerja Sama Air Bersih Pemerintah-Swasta Kabupaten Tangerang, Yenni M. Zein, kepada Tempo, Ahad 19 Februari 2012.
Bahkan, kata Yenni, dari sekian banyak industri pengguna air tanah tersebut, hanya sedikit yang berizin dan jujur. ”Izin pengambilan air tanahnya cuma satu dan dua lubang, tapi pada prakteknya kalangan industri tersebut memiliki 2-5 lubang sumur bor dengan kedalaman di luar ketentuan.”
Tim Monitoring Evaluasi dan Pelaporan Kerja Sama Air Bersih Pemerintah-Swasta Kabupaten Tangerang yang terdiri dari Badan Penanaman Modal Daerah, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Kesehatan telah melakukan evaluasi dan monitoring terhadap dampak jangka panjang dari eksplorasi air bawah tanah oleh kalangan industri tersebut. ”Hasilnya sungguh mencengangkan,” kata Yenni yang merupakan Kepala Bidang Kerja Sama Daerah Badan Penanaman Modal Kabupaten Tangerang.
Berdasarkan data dari Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang, kata Yenni, akibat ribuan industri di wilayah Pasar Kemis, Cikupa, Curug, Balaraja, menggunakan air bawah tanah untuk bahan baku produksinya, dalam jangka panjang telah berdampak pada kualitas dan kuantitas air bawah tanah dan kondisi tanah di wilayah tersebut.
”Eksplorasi air bawah tanah menyebabkan rongga tanah semakin membesar, terjadilah instrusi air laut dan air sumur menjadi payau,” katanya. Kondisi tersebut, kata Yenni, saat ini sudah sampai di bilangan Balaraja dan Cikupa yang berjarak sekitar 30-40 kilometer dari laut.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Kabupaten Tangerang mengakui bahwa dari 4.000 lebih industri hanya sekitar 10 persennya yang memiliki izin mengambil air bawah tanah. ”Yang tercatat di kami hanya 1.347 industri,” ujar Kepala Bidang Pelayanan Perijinan BP2T Kabupaten Tangerang, Ahmad Hafiz.
Menurut Hafitz, tiap dua tahun sekali industri-industri yang terdaftar mengambil air tanah memperpanjang Surat Izin Pengambilan Air (SIPA) Bawah Tanah tersebut. Pajak yang dikenakan pun relatif kecil, yaitu Rp 500 ribu per bulan.
Secara terpisah Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tangerang Muchlis menilai sudah saatnya pemerintah daerah melakukan tindakan tegas terhadap industri-industri yang menggunakan air tanah tersebut. ”Dibiarkan atau dihentikan,” ujar politikus PDIP ini.
Menurut Muchlis, jika memang pemerintah memberikan izin, sudah selayaknya industri yang menggunakan air tanah mengurus izin, membayar pajak, sehingga retribusinya bisa menjadi sumber pendapatan daerah. ”Potensi pendapatan di sektor ini sungguh luar biasa,” katanya.
Jika memang pemerintah ingin menghentikan pemakaian air bawah tanah oleh kalangan industri ini, menurut Muchlis, harus dihentikan dengan membuat regulasi dan aturan yang tegas dan melakukan penertiban. ”Dan tidak memperpanjang SIPA,” katanya. Dari sisi pendapatan daerah, kata Muchlis, pajak pengambilan air tanah masih sangat minim.
JONIANSYAH