TEMPO.CO, Tangerang - Keluarga Maat bin Saran, pemilik lahan seluas 4.500 hektare di Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, terpaksa mengubur diri. Aksi ini berlangsung pada Senin, 20 Februari 2012, di lahan yang diklaim milik mereka.
Tiga anggota keluarga itu, Basri, 47 tahun, Azis Muslih (25), dan Riki Latterson (17), mengubur tubuh mereka dengan tanah merah hingga sebatas leher. Jumlah mereka yang akan ikut serta ini diperkirakan terus bertambah dari sanak-saudara keluarga tersebut.
Aksi kubur diri ini dilakukan sebagai bentuk protes dengan proses hukum yang menjerat almarhum Maat bin Saran. Ia dipenjara kemudian meninggal dunia. "Ayah kami menderita lahir dan batin ditangkap dijebloskan ke penjara dengan persidangan yang semuanya direkayasa,” ujar anak pertama Maat, Lia Anggeraini.
Lia menuturkan ayahnya, Maat, dijebloskan ke penjara hanya karena mencabut palang sebuah pengembang pada 2001 lalu. Beberapa minggu kemudian, tanpa proses pemberitahuan, Maat dijebloskan ke penjara. ”Ini pelanggaran HAM berat,” katanya. Maat bebas pada 2003 dan dua bulan kemudian meninggal dunia.
Belakangan, kata Lia, pihak keluarga menemukan bukti adanya berkas acara persidangan (BAP) pada Juli 202 yang berisikan fakta adanya rekayasa dalam kasus ayahnya tersebut. ”Fakta yang kami temukan, ayah kami sudah di dalam tahanan sejak 2001."
Padahal dalam berkas jelas tertulis surat-surat penahanan kota oleh kejaksaan dan Pengadilan Negeri Tangerang pada bulan April 2002. ”Tapi, ayah saya sejak 2001 sudah berada di sel tahanan. Ini jelas peradilan rekayasa, sesat, dan fiktif.”
Keluarga Maat menuntut semua yang terlibat diproses kembali. Mereka juga ingin rehabilitasi dan pemulihan nama baik almarhum karena keluarga tidak ingin Maat mati dengan status terpidana. Selain itu, mereka menuntut penuntasan pelanggaran HAM dan peradilan sesat serta pengembalian hak ahli waris yang sudah dirampas pengembang.
Salbiah, 75 tahun, istri Maat, hanya bisa duduk sambil menangis. Ia masih teringat bagaimana suaminya ditangkap oleh polisi dengan paksa yang kemudian dijebloskan ke penjara. ”Suami saya saat itu sedang mencangkul di belakang rumah sekitar pukul 09.00 pada Maret 2001. Dia langsung dimasukkan ke mobil untuk di penjara,” kata Salbiah terisak.
JONIANSYAH