TEMPO.CO, Jakarta – Pengamat Transportasi dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna menilai kebijakan Pemerintah Provinsi DKI jakarta dalam mengadakan Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) Jakarta – Bekasi kurang matang. “Dari segi kelayakan dan kebutuhan, ya memang layak dan dibutuhkan. Tapi apakah studi kebijakan itu mencakup aspek sosial,” kata Yayat ketika dihubungi Tempo, Ahad, 1 April 2012.
Menurut Yayat, pengadaan APTB tidak mempertimbangkan aspek sosial yang ada. “Ada angkot yang bertahun-tahun hidup di rute itu. Mereka sudah kesulitan cari penumpang, kemudian ada pesaing di rute yang sama, jelas bila mereka merasa terancam,” kata Yayat.
Yayat meminta Pemerintah tidak terburu-buru membuat kebijakan demi pencitraan jelang Pemilihan Kepala Daera. “Jangan karena mau pilkada, kebijakan dipercepat untuk pencitraan,” katanya.
Seharusnya, kata Yayat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggelar dialog dengan Pemerintah Kota Bekasi dan Organda Bekasi. “Cari solusi bagaimana menekan gejolak sosial yang muncul,” katanya. Yayat mengatakan penolakan dari pemilik dan sopir angkot pernah terjadi di Jakarta. “Waktu peresmian Transjakarta Pinang Ranti-Pluit, patas 6 juga protes,” katanya.
Pemeritah kemudian berdialog yang akhirnya memutuskan rute patas 6 dari Grogol sampai Pondok Gede dialihkan. “Hal ini juga bisa dilakukan untuk menyelesaikan konflik dengan angkot di rute APTB Jakarta-Bekasi yang merasa terancam; re-routing biar tidak saling mematikan,” katanya.
Dia juga mengkritisi ketiadaan operasional APTB di hari minggu. “Seharusnya hari minggu sekalipun angkutan tetap beroperasi, sekalipun jumlahnya tak sebanyak hari kerja,” katanya. Yayat juga meminta Pemerintah Provinsi DKI jakarta mengevaluasi feeder antar wilayah. “Jangan sampai mubazir seperti tiga feeder dalam kota,” katanya.
AMANDRA MUSTIKA MEGARANI