TEMPO.CO , Jakarta:Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengaku berkiblat sistem angkutan missal mass rapid transit dari Hongkong. Namun bukan berarti mereka tak mempelajari MRT negara-negara lain. Jumat, 19 Juli 2013, Pemprov DKI Jakarta bertemu perwakilan dari Delhi Metro, MRT-nya India.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengaku mendapat beberapa pencerahan soal tarif MRT di sana. "Ternyata tarif di sana bisa murah karena memang sebagian besar jalurnya layang," kata Basuki di Balai Kota DKI Jakarta.
Oleh sebab itu Ahok semakin yakin pemerintah tak salah langkah dengan membuat sebagian jalur MRT Jakarta berada di atas permukaan tanah.
Dia tak mau menggubris protes dari para pebisnis di Fatmawati yang menolak jalur layang. Alasan takut kawasan menjadi kumuh terlalu mengada-ada. "Kalau soal membereskan PKL saja tidak percaya pemerintah, bagaimana membuat jalur layang, itu kan bisa runtuh kalau enggak bener," kata dia.
Berkaca dari Delhi Metro, kata Ahok, pembangunan jalur layang bisa menekan biaya investasi sehingga tiket bisa murah. Delhi Metro memiliki sistem tarif progresif seperti KRL Jabodetabek dengan tarif awal sebesar 8 Rupee atau setara Rp 1.348 rupiah. Setiap stasiun diberi tambahan tatif 2 Rupee atau Rp 330.
Delhi Metro melayani jalur di Delhi, Gurgaon, Faridabad, Noida, dan Ghaziabad. MRT ini memiliki enam jalur sepanjang 189,63 kilometer. Ada 142 stasiun dan hanya 35 diantaranya merupakan stasiun bawah tanah, lima stasiun sejajar tanah, sisanya stasiun layang.
Delhi Metro dioperasikan oleh Delhi Metro Rail Corporation Ltd. Itu merupakan perusahaan milik pemerintah yang separuh sahamnya dimiliki pemerintah pusat, sementara 50 persen sisanya dimiliki pemerintah Ibu Kota Delhi.
ANGGRITA DESYANI