TEMPO.CO, Jakarta - Dibangun oleh saudagar Justinus Vinck pada 1735, Pasar Tanah Abang menjadi pusat bisnis retail yang konon terbesar di Asia Tenggara. Ketika memperoleh izin dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Abraham Patram, pada 30 Agustus 1735, Vinck menjadikan kawasan itu sebagai tempat pemasaran tekstil dan barang kelontong.
Majalah Tempo edisi Senin, 19 Agustus 2013, mengulas soal dinamika di Tanah Abang ini. Karena perdagangan terus berkembang, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memutuskan membangun empat blok di lokasi yang sama pada 1973.
Sementara bisnis berputar dengan omzet besar di dalam, "bisnis" lain berputar di luar bangunan pasar, tempat ribuan pedagang kaki lima berjualan hingga badan jalan. Untuk bertahan, mereka membayar aneka pungutan liar. (Lihat juga: Aneka Pungutan di Tenabang) Menurut Kepolisian Daerah Metro Jaya, ada lima modus pemungutan liar.
1. Jatah timer
Pungutan Rp 500-1.000 kepada setiap angkutan umum yang melintas di kawasan Tanah Abang. Satu kelompok pemungut memperoleh Rp 1 juta setengah hari.
2. "Upeti" pemilik lapak
Para pemilik lapak di lokasi strategis diwajibkan menyetor uang setiap bulan. Upeti seluruh pedagang terkumpul Rp 30 juta.
3. Parkir liar
Preman mematok tarif parkir, dari yang lazim Rp 2.000 menjadi Rp 10.000 per jam.
4. "Jalan tol"
Setiap mobil yang lewat mesti membayar untuk memperoleh layanan “jalan cepat”. Jika tidak membayar, cat mobil akan dibaret.
5. Jasa pengamanan pedagang
Preman di Tanah Abang punya wilayah masing-masing, dan memungut uang pengamanan di situ. Selengkapnya, baca Majalah Tempo.
SETRI YASRA, MARIA HASUGIAN, LINDA TRIANITA
Terhangat:
Ahok vs Lulung | Suap SKK Migas | Penembakan Polisi | Sisca Yofie
Berita Terkait:
Lulung: Saya Meludah Saja Jadi Duit
Haji Lulung Tak Mau Lagi Diadu dengan Ahok
Ahok: Saya Enggak Pernah Musuhan dengan Lulung
Berselisih dengan Lulung, Ini Ideologi Ahok