TEMPO.CO, Jakarta - Masa kecil Abraham Lunggana alias Lulung serba sulit. Setelah ayahnya meninggal, Lulung mengais sampah di pasar Tanah Abang untuk membantu ibunya. Hidup bertahun-tahun di Tanah Abang membuat Lulung paham pasar itu sumber uang yang tak akan pernah kering. Ia menyingkirkan para penguasa Tanah Abang sebelumnya. Sekarang hidup Lulung serba mewah. Jauh dari bau sampah.
Belakangan Lulung masuk dunia politik dengan masuk menjadi anggota Partai Persatuan Pembangunan yang kemudian membawanya duduk sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Ia menjadi satu-satunya penguasa Tanah Abang saat ini. Berikut petikan wawancara Lulung dengan Tempo, Kamis, 15 Agustus 2013 di kantornya lantai 9, gedung baru DPRD DKI Jakarta.
Bagaimana cerita Anda sampai masuk ke pasar Tanah Abang?
Hidup saya diuntungkan. Saya ditinggal orang tua (ayah) kelas 3 SD. Orang tua saya veteran dimakamkan di Kalibata tahun 1975 saat saya kelas 3 SMP. Ibu saya tiap hari goreng dua telor untuk makan anak-anaknya. Telur dibagi delapan. Ibu bilang jangan nambah, ya. Saya ingat tuh. Rumah saya dekat pasar, jaraknya 50 meter. Tiap pagi saya salat Subuh, terus langsung cari uang. Pulang ke rumah bawa uang Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Saya beri ke ibu. Saya dapat uang dari cari sampah, cari kardus, besi di pasar Tanah Abang. Saya berkelahi dengan pemulung untuk dapat sampah. Kemudian saya dipukuli, digebukin media. Saya dibilang preman. Tadinya saya bangga dikatakan preman (tertawa lebar). Begitu jadi begini (Wakil Ketua DPRD), anak saya mulai besar, lalu mereka tanya mamanya. “Mama, Bapak preman ya?” Dijelasin deh oleh mamanya. Kebetulan istri saya asli orang Tanah Abang. Dulu rumahnya cuma 5 rumah jaraknya dari rumah saya.
Anda sendiri asalnya dari Betawi?
Saya Betawi-Banten. Nenek Betawi, kakek Banten. Ibu saya asli Betawi.
Kami dengar mobil Anda ada 35 unit?
Sekitar 30-an lah. Duit di sini saya bagi-bagi. (Lulung lalu memanggil seorang stafnya bermarga Butar-butar dan bertanya, ”Proposal di sini banyak atau kagak? Butar-butar menjawab singkat, "Banyak, Pak”. Nah, Rp 3 juta satu hari di sini saja (untuk menyumbang proposal-proposal meminta bantuan dana). Gaji saya cuma berapa duit, sih. Paling cuma Rp 20 juta. Buat saya jangankan harta, masjid saja saya bangun.
Untuk apa mobil sebanyak itu ?
Mobil kantor semua (tertawa). Kalau mobil saya yang paling bagus, itu Rubicon. Itu pun karena saya dituntut oleh bos saya, “Lu pake deh mobil yang bagus”. Bos saya ini banyak di Jakarta.
Bagaimana sampai bos Anda banyak?
Saya itu di Tanah Abang merupakan orang yang membebaskan tanah. Sampai Rp 100 juta per meter itu saya. Nah, owner-nya lain lagi. Orang minta tolong ke saya. Kenapa? Saya tidak pernah ambil untung dari warga. Developer tuh seneng, jadi enggak susah cara mmbebaskannya. Saya pertemukan developer dengan warga, ya udah dibayar. Saya dapatnya dari developer, jasa, begitu. Nah, nama saya sudah besar, masak saya mau gantung diri sih. Masak mau bikin yang tidak-tidak. Tidak mungkin, apalagi saya anak yatim awalnya. Enggak mungkin, deh. Saya enggak mau bikin masalah. Makanya istilahnya lihat dari dekat, biar tahu.
Selain mobil, apalagi aset Anda?
Rumah saya banyak, villa saya ada 7. Ini sebelum jadi anggota Dewan. Toko saya banyak, harga satu unit toko Rp 2 miliar. Anak saya Tirta punya 60 biji (toko). Dia hampir menyusul saya.
Jadi, setoran dari pasar Tanah Abang enggak diambil dong. Ini saja sudah banyak?
Saya enggak minta setoran. Mereka sering mengadu ke saya. Judulnya begini: mereka tetap dibina supaya jangan bikin masalah besar. Kenapa? Karena Tanah Abang sentra ekonomi. Kalau kalian ribut, orang enggak datang belanja di situ. Kalau saya enggak jadi apa-apa lagi, nongkrong aja di Tanah Abang. Meludah saja jadi duit. Tapi saya enggak mau monopoli. Saya nanti manggil rukun remaja dikasih kerjaan. Bayangkan kita ngomong bohong, deh. Kalau cuma bikin kartu nama lewat saya berapa coba, 15 ribu toko. Terus bikin nota kontan, berapa kira-kira. Bikin kantong kresek nih, berapa kira2? Bikin kantong kardus ini yang belum saya garap. Nanti mau pensiun baru mau garap. Kenapa? Pedagang itu baik sama saya semua. Saya suka malu datang ke sana (Pasar Tanah Abang). Saya enggak pernah datang sekarang, malu saya karena kayak menteri kabinet saja. Saya datang ya, jangan ada yang ngawal saya, pesen dulu. Orang toko enggak kenal Haji Lulung yang mana. Kepala kelompoknya aja yang tahu, yang tua-tua,
Sepertinya Anda seperti The Godfather?
Ya, The Godfather yang bukan jahat. (tertawa lebar)
Anda setor ke partai juga?
Setiap tahun itu enggak kurang dari Rp 1 miliar untuk partai (Partai Persatuan Pembangunan). Kenapa? Karena setiap ranting kita kasih bingkisan, meneruskan yang dulu-dulu, kewajiban. Kalau DPP (Dewan Pengurus Pusat) saya enggak tahu dah itu.
Bagaimana dengan gaji dari DPRD tidak dipakai, dong?
Pakai lah. (tertawa). Istri saya nanti katakan: kerja tiap hari sampe malem kagak ada setorannye. Ini proposal majelis taklim dari Cakung, Penggilingan, Jakbar, Tangerang, untuk Maulid. Siapa kyai besar di Jakarta enggak kenal Haji Lulung? Pedagang yang susah habis kebakaran, punya modal paling cepek, nopek lah, cari toko susahnya bukan main sedangkan di sana didominasi sama yang sipit-sipit. Mereka mesti punya orang tua kan, cari pinjaman ke saya. Pak Haji ada daftar di sana, punya uang cuma 100, cari uang muka, pengin kredit lunak, tolong dong. Alhamdulillah-nya? Kenapa? Saya tidur doang, ada bank yang datang. Itu bank bangunin saya, "Pak Haji, Pak Haji pake uang kita." Tapi saya kagak pernah mau gunakan. Tapi ketika orang-orang minta bantuan soal pinjaman lunak, saya harus maju dong ke depan. Bang, ini ada orang mau cari toko, mau bantuin kagak? Mau. Punya uang muka kagak? Punya, berape? Seratus ribu. Ya, saya bilang rapat dulu. Berapa bank saya hubungi, saya minta bunga yang paling rendah. Saya beli Rp 500. Pembeli nih utang pada saya 15 tahun. Ada yang diperas enggak? Saya dapat dari pemenang tender, saya dapat dari bank, saya dapat dari developer, sampah dapat, ruko dapat. Itu bisa dihitung enggak berapa duitnya? Deposito dong, tabung. Cek aje tuh.
Semua harta kekayaan dilaporkan ke KPK?
Dulu tuh saya kagak mengerti. Dulu saya pelit-pelit. Lalu ada yang mengajari, "Lung laporkan semua, kalau besok diisi semua. Karena apa? Saya nomor 3 pembayar pajak terbaik di Jakarta Pusat. Ya, tepuk tangan dong (tertawa lebar).
Berapa itu nilainya?
Enggak tahu. Itu urusan kantor, urusan komisaris saya.
Ratusan miliar ya pak?
Enggaklah. Nanti saya dikejar pajak terus.
Bagaimana dengan anak-anak Anda, sudah bekerja semua?
Anak saya ada yang bikin perusahaan catering yang bekerja sama dengan hotel-hotel dan penyelenggara wedding. Cuma satu yang tidak bekerja karena suaminya sudah lumayan. Sedangkan Tirta sudah punya perusahaan. Tapi sekarang anak saya gabung dengan saya. Soalnya, siapa yang urus perusahaan saya?
Topik Terhangat:
Suap SKK Migas | Penembakan Polisi | Pilkada Jatim
Berita Terkait:
Profil Lulung Lunggana, Bisnis Keras di Tanah Abang
Lulung: Saya Meludah Saja Jadi Duit
Aneka Pungutan di Tenabang
5 Modus Pungutan di Tanah Abang