TEMPO.CO, Jakarta - Jakarta ternyata tidak memiliki peta utilitas bawah tanah. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama membenarkan fakta itu. Malah, kata Basuki alias Ahok, Jakarta itu ibarat “kampung besar” yang menjadi kota tanpa didahului persiapan jaringan infrastruktur, tapi berkembang begitu saja dengan mengisi tempat kosong. “Saya tidak tahu ini salah siapa,” kata Ahok dalam percakapannya dengan Tempo, pekan lalu.
Menurut Ahok, wacana mengenai peta bawah tanah itu juga baru muncul setelah ada rencana membangun MRT Jakarta yang sebagian koridornya akan menyelam hingga 30 meter di bawah tanah mulai Bundaran Senayan hingga Bundaran HI. Begitu melihat kondisi di bawah tanah, kata Ahok, kondisinya jauh lebih buruk dari yang tampak dari atas. “ Di bawah tanah Jakarta itu semrawutnya dobel-dobel,” kata Ahok.
Misalnya saja di dekat terusan Casablanca, ketika tanah digali untuk membangun jalan layang nontol, beragam jenis kabel berseliweran di bawah tanah. Tak jelas lagi mana kabel listrik, mana kabel serat optik. Kabel-kabel itu bergulungan dan sebagian bersilangan dengan gorong-gorong air. “Dari luar tampak rapi, tapi bawahnya hancur,” kata Ahok.
Pemerintah DKI, kata Ahok, membuat Peraturan Gubernur Nomor 167 tentang Ruang Bawah Tanah, yang dibakukan pada akhir 2012. Dalam peraturan itu disebutkan soal definisi pemanfaatan tanah serta pembagian ruang bawah tanah menjadi ruang bawah tanah dalam--lebih dari 10 meter--dan dangkal.
Tidak adanya peta utilitas bawah tanah Jakarta itu menyebabkan penataan jaringan dan saluran di bawah tanah sulit dilakukan. Akibatnya, kondisi di bawah tanah Ibu Kota semakin semrawut dan memperparah banjir di permukaan. (baca:Bawah Tanah Jakarta Ternyata Lebih Semrawut)
Tidak adanya peta itu juga menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan konstruksi MRT Jakarta. "Data yang ada banyak yang tak sesuai dengan kenyataan di lapangan,” kata Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta Muhammad Nasyir. “Kami gali dengan tangan sedikit saja sudah muncul kabel." (Baca selengkapnya di edisi Jakarta Darurat di Bawah Tanah Majalah Tempo pekan ini).
Kondisi drainase bawah tanah di Jakarta juga memprihatinkan. Gorong-gorong yang ada saat ini boleh dikatakan tidak ada yang baru, terakhir dibangun pada 1970-an. Kapasitasnya kini sudah tidak memadai karena tidak memperhitungkan limpasan air akibat terus berkurangnya ruang terbuka hijau di permukaan. (baca:Tak Hanya Banjir, Krisis Air Bersih Ancam Jakarta)
Saat ini diameter drainase di Jakarta rata-rata hanya 60 sentimeter, padahal idealnya adalah 2 meter. Kemiringan saluran air juga berkurang akibat penurunan permukaan tanah, seperti yang terjadi di Jalan Thamrin.
WDA | AGUNG SEDAYU | TIM TEMPO
Berita Lain:
Bagaimana Kondisi Tanah Tol Cipularang KM 72?
Molor, Perbaikan Tol Cipularang yang Amblas
Longsor, Jalur Ponorogo-Pacitan Lumpuh 5 Jam
Perbaikan Tol Cipularang Target Selesai Kamis