TEMPO.CO, Jakarta - Bus Transjakarta menjadi sorotan belakangan ini karena diketahui beberapa bagian dari sejumlah bus rusak meskipun masih baru. Hal ini pun mengarah pada kecurigaan adanya permainan dalam tender pengadaannya. Dalam kurun waktu 2006-2009, Transjakarta pernah mengalami kisruh soal tender. (Baca lengkap: Edsus Cacat Transjakarta)
Untuk dapat segera mengoperasikan koridor-koridor Transjakarta, Badan Layanan Umum melakukan penunjukan langsung kepada sejumlah konsorsium untuk mengoperasikan bus. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso kepada majalah Tempo saat itu mengatakan bahwa tak ada yang berminat menjadi operator busway sehingga tidak dilakukan langkah penunjukan melalui tender.
Dari penunjukan langsung tersebut terpilih PT Jakarta Express Trans (Perum PPD, Ratax, Bianglala, Steady Safe, Pahala Kencana) sebagai operator Koridor I (Blok M-Kota), PT Transbatavia (Mayasari Bakti, Steady Safe, Perum PPD, PT Metro Mini) sebagai operator Koridor II (Pulogadung-Harmoni) dan III (Harmoni-Kalideres), Jakarta Trans Metropolitan (Mayasari, PPD, Steady Safe, Bianglala) sebagai operator Koridor IV dan VI, dan Jakarta Mega Trans (Mayasari, PPD, Steady Safe, Pahala Kencana) sebagai operator Koridor V dan VII. Konsorsium-konsorsium tersebut diupah sebesar Rp 12.885 per kilometer.
Kenyataannya, keputusan penunjukan langsung tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. Aturan itu mengharuskan pelaksanaan lelang untuk pengadaan proyek pemerintah di atas Rp 50 juta. Namun langkah tersebut justru mendapat pelegalan dari Gubernur Sutiyoso. Dia mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 123 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Operator Busway pada 7 Desember 2006.
Kemudian diketahui bahwa penunjukan dengan tender nyatanya menawarkan harga yang lebih murah soal ongkos jalan para operator. Tahun 2007, BLU membuka lelang untuk menambah armada di Koridor IV, V, VI, dan VII. Para pemenang lelang memberi harga hanya Rp 9.443 per kilometer. Angka ini pun menunjukkan bahwa sejak tahun 2004 BLU rugi puluhan miliar.
Atas seteru ini, BLU sempat digugat oleh konsorsium ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia karena menawarkan tarif yang sama dengan harga lelang. Akhirnya, pada 11 Juni 2009, Pemprov DKI Jakarta berencana merevisi Peraturan Gubernur Nomor 123 Tahun 2006 yang dianggap bertentangan Keputusan Presiden Nomor 80/2005 soal Keharusan Tender untuk Proyek-proyek Pemerintah. (Baca: Seteru Tarif, BLU Transjakarta Pernah Digugat)
NINIS CHAIRUNNISA