TEMPO.CO , Jakarta: Mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, mendukung penuh pembahasan konsep megapolitan. Menurut dia, pembahasan Undang-Undang Megapolitan itu akan mampu mengatasi sejumlah masalah krusial yang ada di Ibu Kota dan sekitarnya.
”Tentu saya gembira dan mendukung dengan konsep tersebut,” kata Sutiyoso kepada Tempo, Rabu, 19 Februari 2014. Dewan Perwakilan daerah membuka kembali wacana pembentukan Undang-undang Megapolitan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Cianjur (Jabodetabekjur).
Sutiyoso mengatakan, konsep megapolitan sebenarnya pernah digagas oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2006 saat dirinya menjadi gubernur. Hanya saja, saat itu pemerintah pusat terkesan setengah hati dalam merespon dan membahas konsep integrasi Jakarta dengan kota penyangganya. Hal itu yang membuat pembahasan konsep megapolitan tidak dilanjutkan.
Padahal, kata dia, konsep itu bisa menjadi solusi dari persoalan banjir, macet, dan pengelolaan sampah. Masalah itu disebutnya menjadi persoalan krusial yang dihadapi oleh Jakarta hampir setiap saat.
Dia berharap pembahasan Undang-Undang Megapolitan itu akan melahirkan satu lembaha yang memiliki otoritas untuk mengurus persoalan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur.
“Jadi, ada lembaga khusus untuk merencanakan tata ruang yang terintegrasi beserta anggarannya,” ujar Sutiyoso. Dalam konsep megapolitan itu, kata dia, persoalan macet akan bisa ditangani dengan sejumlah moda transportasi seperti MRT, monorel, maupun Transjakarta.
Syaratnya semua moda transportasi itu dilanjutkan hingga ke kota-kota penyangga tersebut. Dia mengatakan sengaja membuat konsep transportasi massal yang kemudian diwujudkan saat ini, yakni MRT dari Lebak Bulus ke Bunderan HI, Transjakarta hingga kawasan Pulo Gadung dan Kalideres, dan rute jalur biru serta hijau dari Monorel.
Maksudnya adalah supaya pemerintah Bekasi dan Tangerang menghubungkan Transjakarta ke daerahnya, dan pemerintah Depok dan Bogor mengintegrasikan sistem transportasinya dengan MRT.
“Tapi kenyataannya kan tidak, karena tiap daerah punya kepentingan masing-masing. Karena itu konsep megapolitan itu untuk mengintegrasikan semuanya,” ujar dia.
Sutiyoso tidak setuju dengan anggapan bahwa konsep megapolitan akan menguntungkan Jakarta saja. Menurut dia, perekonomian daerah akan terbantu karena semuanya terintegrasi dan tidak ada yang dirugikan.
Contohnya, pelat nomor kendaraan yang nantinya bisa diatur sesuai dengan domisili kendaraan tersebut. “Kalau sekarang kan dari Tangerang atau Bekasi pakai pelat ‘B’, jadinya Cuma Jakarta yang terima pajaknya,” katanya.
Sutiyoso juga mengatakan tujuan pembentukan kota megapolitan itu bukan untuk mengambil alih kewenangan daerah lain ke dalam provinsi DKI Jakarta. Konsep itu disebutnya cuma sebatas membentuk lembaga yang bertugas untuk mengintegrasikan perencanaan tata kota.
Bahkan, ujar dia, bukan tidak mungkin pusat pemerintahan dipindahkan jika memang sistem transportasinya dan tata ruangnya sudah diintegrasikan. “Jadi, tidak perlu jauh-jauh pindah ke Kalimantan, karena biayanya akan sangat tinggi,” ujarnya.
DIMAS SIREGAR