TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menunda pembacaan putusan atas gugatan swastanisasi air di Jakarta. Ketua Majelis Hakim Iim Nurohim mengatakan penundaan itu karena hakim belum menyiapkan amar putusan yang akan dibacakan. "Jadi persidangan ditunda selama satu bulan," kata dia saat memimpin sidang, Selasa, 13 Januari 2015.
Iim mengatakan, majelis hakim masih memerlukan waktu untuk bermusyawarah dalam mengambil keputusan. Karena itu, waktu satu bulan dianggap sudah mencukupi hingga akhirnya keputusan sidang dibacakan. "Majelis juga masih memerlukan waktu untuk membuat keputusan," ujar dia.
Adapun waktu selama rentang waktu satu bulan masih memungkinkan pihak-pihak yang berperkara untuk mencari jalan keluar lain lewat perdamaian. Iim juga berharap agar penggugat dan tergugat berlapang dada dan tidak menarik ulur persoalan. Tujuannya agar ada solusi yang lebih baik dalam menyelesaikan masalah.
"Supaya mencari solusi perdamaian yang terbaik untuk dua pihak," kata dia.
Adapun pihak penggugat yakni Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Privatisasi Air Jakarta, sempat mempertanyakan rentang waktu penundaan sidang selama satu bulan. Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana menganggap waktu satu bulan terlalu lama. "Kami rasa waktu dua pekan sudah cukup untuk membuat putusan," ujar dia.
Selain itu, dia juga meminta kepada para tergugat untuk menjelaskan secara konkret tawaran perdamaian yang akan diberikan. Pihak penggugat pun meminta tawaran itu disampaikan secara terbuka di ruang sidang. "Biar semua jelas apa yang akan ditawarkan," kata dia.
Namun pihak tergugat tak ada satu pun yang memberikan tawaran perdamaian itu secara terbuka. Meski Ketua Hakim Iim sudah mempersilakan, perwakilan dari tujuh tergugat itu tidak memberikan tawaran apapun.
Soal waktu pembacaan putusan pada satu bulan mendatang, hakim berkukuh pada pernyataannya. Iim menganggap waktu satu bulan memang dibutuhkan hakim sehingga sidang pembacaan putusan baru akan digelar 10 Februari 2015 nanti. "Waktu yang ada bisa dimanfaatkan untuk berdamai," kata dia sambil mengetuk palu.
Seusai persidangan, perwakilan dari Biro Hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakara, Haratua Purba, mengatakan belum ada tawaran perundingan dari pemerintah. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan untuk menyelesaikan perkara lewat jalur perdamaian. "Karena kan seluruh pihak tergugat berhak berdamai dengan penggugat," ujar dia.
Sementara itu, Arif menganggap proses perdamaian baru akan terwujud jika tawarannya berupa materi gugatan sidang. Pihak penggugat bakal mencabut gugatannya jika Pemprov DKI bersedia membatalkan kontrak dengan PT Palyja dan PT Aetra sebagai pengelola air di Ibu Kota. "Karena akar persoalan kontrak itu," ujar dia.
Dia pun menutup pintu damai jika tawaran yang diberikan penggugat bukan pemutusan kontrak. Selain itu, dia juga sudah mengetahui tawaran damai berupa pembelian Palyja dan Aetra oleh PAM Jaya. "Tapi itu baru wacana dan berlum pernah disampaikan kepada kami, harus Tanya ke Gubernur," kata dia.
Arif mengatakan, rentang waktu yang diberikan hakim untuk berdamai juga secara tersirat menyatakan bahwa kontrak Pemprov DKI dengan dua operator itu salah. Tawaran dari pemerintah sebelumnya berupa pengalihan pengelolaan kepada BUMD juga memperkuat penilaian tersebut.
"Intinya kami minta kontrak diputus, karena kalau lanjut hingga 2022 pemerintah akan rugi sampai RP 18 triliun," ujar dia.
DIMAS SIREGAR
Berita Terpopuler:
Siapa Budi Gunawan Versi Lulusan Terbaik Akpol 83?
Di Panama, Ilmuwan Bikin Nyamuk Chikungunya Mandul
Firman Utina dan Alfred Riedl Pilih Ronaldo
Wanita Ini Adukan Wali Kota Bogor ke Polisi