TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog anak Roslina Verauli mengatakan, penyebab anak bunuh diri belum tentu sepenuhnya karena perceraian orang tua. Menurut dia, banyak faktor yang bisa menjadi penyebab seorang anak akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. “Karena masalah itu pasti multidimensional, perceraian orang tua mungkin cuma pemicu saja,” kata dia saat dihubungi, Sabtu, 17 Januari 2015.
Sebelumnya, seorang bocah SMP berusia 14 tahun di Pancoran, Jakarta Selatan, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Bocah bernama Arangga Arman Kusuman itu ditemukan tewas oleh tantenya yang biasa membangunkan korban untuk berangkat sekolah. Rangga diketahui tinggal bersama nenek dan tantenya sejak perceraian kedua orang tuanya. (Baca: Berbagai Topik Bunuh Diri)
Menurut Roslina, keputusan seseorang untuk bunuh merupakan pilihan yang sangat sulit diambil. Sebab, hampir seluruh makhluk hidup memiliki naluri menyelamat diri yang cukup tinggi. Hal itu yang membuat manusia selalu berupaya agar terhindar dari sebab yang membuat dia mati. “Anak bayi saja sudah punya insting untuk menyelamatkan diri, apalagi yang sudah lebih besar,” kata dia. (Baca: Fenomena Bunuh Diri Masih Terjadi di Gunung Kidul)
Dia mengatakan, Rangga bunuh diri bisa saja karena memang masalah-masalah yang dia hadapi selama ini. Masalah itu kemungkinan besar tidak tersalurkan dengan baik sehingga menjadi bertumpuk dan menunggu pemicu. Kurangnya perhatian orang tua juga bisa saja memicu keputusannya untuk bunuh diri.
Namun, faktor lain seperti masalah sosial dan ekonomi juga memegang peranan penting dalam kondisi psikologis anak. Bahkan, hal-hal yang terkesan sepele bisa menjadi dasar keputusan bunuh diri lantaran masalah yang sudah menumpuk tadi. “Mungkin juga di-bully, jadi tidak mesti faktor orang tua cerai karena banyak juga yang sukses meski keluarganya tidak utuh,” ujar dia.
Adapun cara mencegah menumpuknya masalah pada anak adalah dengan melatihnya supaya tangguh. Salah satunya adalah dengan memberikan dukungan untuk beraktivitas. Anak juga tidak bisa terlalu sering dimarahi atau dikritik. “Harus ada hal-hal positif sehingga anak itu bisa merasa percaya diri,” ujar dia
Jika demikian, kata Roslina, anak akan merasa disayangi sehingga yakin dengan kemampuannya dan bisa diandalkan. Pola komunikasi juga harus diperhatikan karena cara berbicara dengan anak yang introvert dengan ekstrovert berbeda. “Jadi anak itu harus tangguh dan dia juga merasa tangguh,” kata dia.
DIMAS SIREGAR
Berita Terpopuler:
Duka Air Asia, Banyak yang Mengaku Keluarga Korban
Harga BBM Indonesia Termurah di ASEAN
Musibah Air Asia, Penyelam Dekati Badan Pesawat
Harga BBM Turun, Harga Semen dan Elpiji Ikut Turun
Senin, Harga Bensin Jadi Rp 6.600