TEMPO.CO, Jakarta - Kekerasan yang berlangsung di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Jakarta tak hanya fisik, tapi juga kekerasan finansial. Kepala SMA Negeri 3 Retno Listyarti membeberkan praktek kekerasan yang sudah berlangsung bertahun-tahun di sekolah tersebut.
Menurut Retno, yang baru dua bulan menjabat Kepala SMAN 3, hampir semua kekerasan yang terjadi di sekolah tersebut berawal dari pemerasan (kekerasan finansial). "Kalau tidak dikasih uang, mereka dicekik atau dipukul," kata Retno di SMAN 3, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu, 11 Februari 2015.
Retno mencontohkan, ada kegiatan pentas seni bernama Antik. Acara ini menghadirkan artis terkenal serta band dan kreativitas seni murid SMAN 3. Namun kegiatan itu membutuhkan dana hingga Rp 1 miliar.
Agar kegiatan berjalan, murid kelas X SMAN 3 diwajibkan memberi uang. Bahkan, per pekan, setiap satu kelas harus menyetor Rp 1 juta ke kelas XII. "Murid yang dimintai uang sampai menjual kue dan ngamen di pinggir jalan," ujar Retno. "Mereka sering pulang malam, dan orang tua banyak yang mengeluh."
Selain itu, murid kelas X juga sering dikerjai. Saat kakak kelas melintas dan ketemu murid kelas X, kakak kelas minta dibelikan minuman untuk satu mobil. Kalau tidak dibelikan, murid kelas X itu akan mendapat kekerasan fisik.
Belum dua bulan menjabat Kepala SMAN 3, dia mendapat laporan dari orang tua yang anaknya diperas. "Selama enam bulan, anak itu dipalak mencapai Rp 5 juta," tuturnya.
Untuk menghilangkan kekerasan di sekolahnya, Retno melakukan tindakan terhadap murid yang melakukan segala tindakan kekerasan. Enam murid yang diduga melakukan pengeroyokan terhadap Erick, 30 tahun, pada 30 Januari 2015, diskors.
Mereka merupakan kelas XII SMAN 3, yaitu HJ, 16 tahun, PR (17), AEM (17), EM (17), MR (17), dan PC (17). Hukuman skors mereka berlaku pada 11 Februari-9 Maret dan 16 Maret-13 April 2015. "Untuk memutus mata rantai kekerasan di sekolah, harus diberikan sanksi yang tegas," tutur Retno.
HUSSEIN ABRI YUSUF