TEMPO.CO , Jakarta - Turunnya curah hujan yang intensif mulai terasa dampaknya di Ibu Kota dalam sepekan terakhir. Hujan yang mengguyur menciptakan 93 kawasan banjir di Jakarta, termasuk Istana Presiden. Bukan kali pertama Jakarta harus berjibaku dengan genangan air, banjir seakan sudah menjadi masalah yang menahun.
Pemerintah bukan tak punya rencana strategis untuk menekan potensi banjir di Jakarta. Faktanya beragam cara sudah ditempuh untuk membebaskan warga Jakarta dari terjangan banjir. Mulai dari menyodet aliran Kali Ciliwung ke Kanal Banjir Timur, normalisasi sungai, sampai memperbaiki drainase. Tapi, cara itu belum ampuh, sampai Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus mohon ampun. "Saya harus minta maaf kepada masyarakat. Faktanya, DKI belum bisa menyelesaikan banjir," kata Ahok di Balai Kota, Selasa, 10 Februari 2015.
Berikut penyebab masih timbulnya banjir di Jakarta:
1. Sodetan Ciliwung
Proyek bernilai Rp 492,6 miliar ini digadang menjadi solusi jitu mengatasi banjir yang melanda Jakarta. Dimulai pada Desember 2013 dan direncanakan rampung pada Maret 2015, proyek ini ternyata tersendat. Kepala Balai Besar Ciliwung-Cisadane, Teuku Iskandar, menjelaskan realisasi proyek baru 11 persen dari target 64 persen per Januari 2015. "Terhambat pembebasan lahan warga di Bidara Cina," ujarnya. Padahal, bila proyek ini rampung, sodetan bisa membantu mengurangi debit Kali Ciliwung hingga 60 meter kubik per detik.
2. Pembebasan lahan di bantaran Ciliwung
Pemerintah DKI juga merencanakan relokasi pemukiman warga di sepanjang Kali Ciliwung. Rumah warga ini disebut menjadi faktor utama pendangkalan sungai secara drastis. Maka, upaya relokasi warga dilakukan agar proyek normalisasi Kali Ciliwung segera terlaksana.
Ada dua wilayah di DKI yang akan dibebaskan lahannya: Kampung Melayu dan Bidara Cina.
Tapi, upaya pembebasan lahan ternyata tak mulus. Masalah muncul mulai dari resistensi warga hingga simpang siurnya tempat relokasi warga. Contohnya warga di Bidara Cina ada 299 bangunan yang harus dibongkar, namun baru 48 bangunan milik warga yang berhasil diukur.
3. Warga DKI Tak Tertib Buang Sampah
Sampah masih menjadi penyebab nomor satu banjir di ibu kota. Sebabnya, warga DKI masih minim kesadaran akibat buang sampah sembarangan. Dinas Kebersihan DKI menyatakan volume sampah di Jakarta terus meningkat saban tahunnya. Pada 2013, warga DKI memproduksi limbah sampah mencapai 6.500 ton sehari, dan meningkat menjadi 7 ribu ton per hari pada 2014. Bila sampah itu disebar rata, maka akan menutupi empat kali lapangan sepak bola.
Sebagai kota megapolitan, Jakarta termasuk terbelakang dalam teknologi mengelola sampah. DKI belum punya alat pengolah sampah yang dikenal dengan insenerator. Alat ini baru dianggarkan pada R-APBD DKI tahun lalu.
4. Pompa Pluit Tak Dapat Pasokan Listrik
Banjir di Jakarta yang sampai menggenangi Istana Presiden kemarin disebabkan tak beroperasinya pompa di Pluit, Jakarta Utara. PLN harus memutus pasokan listrik ke pompa itu karena sejumlah gardu dipadamkan akibat terendam banjir. PLN menyebut ada 469 gardu listrik yang harus dipadamkan akibat tergenang banjir.
5. Drainase yang masih buruk
Kapasitas saluran pembuangan air atau drainase di Ibu Kota dinilai kurang memadai. Buktinya drainase yang ada saat ini hanya dirancang untuk menampung curah hujan 50-60 milimeter per jam. Idealnya drainase di Jakarta berkapasitas 80 milimeter per jam. Ironisnya, sistem drainase yang dibangun di Jakarta termasuk jadul karena dibangun 1,5 abad lalu.
Selain itu, drainase yang ada saat ini hanya berada di kedalaman 1,1 meter di bawah permukaan tanah. Padahal pada kedalaman tersebut banyak terdapat jaringan pipa dan kabel. Sehingga, tak mengherankan bila banyak sampah plastik yang menyumbat saluran drainase.
RAYMUNDUS RIKANG