TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengatakan hak angket yang bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta tak selalu berakhir pemakzulan. Ia menjelaskan, jika tuduhan DPRD tak terbukti, pemakzulan tak akan terjadi.
"Jika tuduhan tak terbukti, tidak ada alasan bagi legislatif untuk ngotot menggunakan hak pemakzulan," katanya, Jumat, 27 Februari 2015.
Ihwal penggunaan hak angket terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Refly menilai mantan Bupati Belitung Timur itu tak mudah diturunkan. "Mengganti kepala daerah sulit dilakukan apabila tak memiliki bukti yang cukup kuat mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Ahok," katanya.
Refly menjelaskan, hak angket adalah hak yang melekat kepada legislatif sebagai lembaga, dan bukan perorangan, untuk melakukan penyelidikan. "Artinya, (hak itu bisa digunakan saat) Dewan menduga eksekutif melakukan pelanggaran hukum," katanya. Sedangkan pemakzulan, menurut dia, adalah hak legislatif untuk menyatakan pendapat.
Penggunaan hak angket, kata Refly, berujung hasil penyelidikan. Tapi tidak semua pelanggaran dapat diteruskan menjadi pemakzulan. Sebab, terdapat klasifikasi pelanggaran, yakni pelanggaran berat, seperti korupsi dan tindak pidana lain, dan maladministrasi. "Jika terbukti Gubernur melakukan pelanggaran hukum, Dewan berhak memakai hak menyatakan pendapat (pemakzulan)," katanya.
Setelah pemakzulan dilakukan, kata dia, Mahkamah Agung akan menguji temuan pelanggaran hukum Dewan. Jika MA membenarkan ada pelanggaran hukum, kata dia, Dewan yang akan memutuskan apakah akan mengganti eksekutif. "Jika iya, usul penggantian kepala daerah ini harus diajukan ke presiden untuk mendapatkan persetujuan," katanya.
DINI PRAMITA