TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tak menyetujui penerapan hukuman mati bagi terpidana narkoba. Alasannya, para terpidana masih memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi warga yang baik.
"Saya tidak setuju dengan hukuman mati. Mereka punya kesempatan menjadi manusia yang lebih baik," katanya di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur, Sabtu, 28 Februari 2015.
Ahok--sapaan Basuki--berujar, hukuman mati hanya layak diberikan kepada terpidana yang kedapatan tetap mengkonsumsi narkoba di rumah tahanan. Sedangkan hukuman yang seharusnya diberikan bagi terpidana narkoba yakni kurungan penjara seumur hidup tanpa pengurangan masa tahanan. Setelah divonis, Ahok menegaskan, para terpidana juga harus diawasi secara ketat.
Eksekusi hukuman mati di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Presiden Joko Widodo belakangan menjadi sorotan internasional karena menolak grasi yang diajukan oleh para terpidana mati kasus narkotika.
Pemerintah telah mengeksekusi enam terpidana mati pada Ahad dinihari, 18 Januari 2015. Lima di antaranya warga negara asing yang berasal dari Brasil, Belanda, Vietnam, Malawi, dan Nigeria. Brasil dan Belanda bahkan secara resmi telah menarik duta besar masing-masing dari Indonesia. Saat ini, dua terpidana kasus narkoba asal Australia--Myuran Sukumaran dan Andrew Chan--juga sedang menanti eksekusi mati.
Jika ada terpidana yang mengkonsumsi narkotika dari dalam rumah tahanan, Ahok melanjutkan, pemerintah dan aparat hukum secara otomatis berhak mengeksekusi mati. "Dalam kasus itu, saya setuju agar mereka langsung dieksekusi," ujarnya.
Ahok mengatakan pernah mengungkapkan pendapatnya itu ke Jokowi. Meski begitu, ia meyakini Jokowi memiliki pertimbangan lain sebelum menolak grasi para terpidana. Selain itu, pencabutan vonis hukuman mati juga membutuhkan proses panjang melalui amandemen undang-undang. "Pak Jokowi itu teliti," kata Ahok.
LINDA HAIRANI