TEMPO.CO , Jakarta: Pekik takbir berkumandang ketika Fahmi Zulfikar Hasibuan menutup sidang paripurna DPRD DKI Jakarta. “Saya ucapkan terima kasih atas dukungan bergulirnya hak angket ini,” kata Fahmi, anggota DPRD dari Fraksi Partai Hanura, Kamis, 26 Februari 2015. Di ruang kerjanya, puluhan anggota Forum Betawi Bersatu mengelu-elukannya.
Fahmi memang salah satu anggota Dewan yang paling getol mengusung hak angket setelah Gubernur Jakarta Basuki Purnama alias Ahok mencoret ratusan mata anggaran titipan para anggota Dewan. Fahmi disebut-sebut terkena imbas karena mata anggaran perbaikan jalan di wilayah Cengkareng, yang merupakan daerah pemilihannya, ikut dicoret.
Pembentukan hak angket ini bermula ketika Ahok menemukan adanya anggaran siluman sebesar Rp 12,1 triliun di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2015. Dana tidak jelas ini muncul setelah Dewan mengesahkan anggaran pada akhir Januari lalu. Ahok, yang merasa ditipu oleh aksi begal anggaran ini, menghapus seluruh mata anggaran tersebut dan mengirimkan versi revisi atau e-budgeting ke Kementerian Dalam Negeri untuk mendapat persetujuan.
Fahmi mengklaim dana yang dituding sebagai anggaran siluman itu adalah aspirasi masyarakat yang diterima Dewan saat reses. Dia berdalih proses masuknya mata anggaran sudah sesuai dengan prosedur karena berkali-kali dibahas dengan Tim Pengguna Anggaran Daerah sebelum disahkan. “Anggaran versi Ahok yang tidak sah karena belum pernah dibahas,” ujarnya.
Sebenarnya, Ahok sudah menyediakan dana khusus untuk mengerjakan usul Dewan yang berasal dari aspirasi di masa reses. Besarnya Rp 4 triliun, naik Rp 1 triliun dari tahun sebelumnya. Jumlah ini lebih kecil daripada tuntutan Dewan, sebesar Rp 8,8 triliun. Belakangan, angka di dalam anggaran yang disahkan Dewan malah menjadi Rp 12,1 triliun, yang akhirnya dicoret Ahok.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Heru Budi Hartono membenarkan adanya ruang untuk memasukkan anggaran aspirasi masyarakat. “Besarannya disesuaikan, tidak bisa semua permintaan Dewan diterima,” katanya. Menurut dia, anggaran ini harus melalui pembahasan dengan pemerintah, tidak bisa diusulkan langsung oleh Dewan.
Pimpinan Dewan kemudian berkirim surat ke Ahok untuk meminta penjelasan, tapi tidak mendapat tanggapan. Akhirnya, Fahmi mengumpulkan para pemimpin fraksi di ruang kerjanya pada pekan pertama Februari untuk membahas sikap Ahok. Saat itu hadir juga Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Partai Gerindra, M. Taufik, dan Abraham Lunggana alias Lulung dari Partai Persatuan Pembangunan--keduanya sudah lama berseteru dengan Ahok.
Dalam pertemuan itu, Fahmi mengusulkan ide menggunakan hak interpelasi. Salah seorang politikus yang hadir menuturkan usul tersebut ditolak oleh peserta rapat. Mereka belajar dari pengalaman saat mengajukan interpelasi di masa kepemimpinan Gubernur Joko Widodo yang mentah di tengah jalan. Mayoritas yang hadir, kata politikus itu, juga menilai interpelasi tidak memiliki implikasi apa-apa karena sekadar bertanya.
Mereka meminta tolong Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi untuk berkomunikasi dengan Ahok. Namun hasilnya nihil. Ahok tetap pada pendiriannya, tidak mau menyetujui anggaran versi rapat pengesahan Dewan. Dia meminta Dewan menyetujui anggaran versi e-budgeting yang dikirim ke Kementerian Dalam Negeri.
Sadar lobi melalui Prasetyo gagal, Taufik, Lunggana dan lainnya putar otak. Dalam pertemuan berikutnya, Fahmi-lah yang pertama mengusulkan penggunaan hak angket. Menurut dia, hak angket lebih memiliki kekuatan karena Dewan berwenang melakukan penyelidikan. “Kalau sekadar tanya, Ahok sudah bebal,” katanya. Mayoritas peserta rapat setuju.
Belum sampai sepekan, fraksi-fraksi pendukung hak angket mulai berguguran. DPP Partai Nasional Demokrat (Nasdem) memerintahkan Fraksi Nasdem untuk mencabut hak angket kepada Gubernur DKI Jakarta dan keluar dari kepanitian hak angket. Fraksi PKB DPRD Jakarta juga tidak setuju dengan hak angket itu.
SYAILENDRA PERSADA