TEMPO.CO, Jakarta - Ada lima kesalahan besar yang dilakukan DPRD DKI Jakarta dalam membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2015. "Pembahasannya tidak terbuka dan bukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tapi kepentingan elit," kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto melalui siaran pers yang diterima, Jumat, 6 Maret 2015.
Menurut Yenny kekeliruan itu menjadi penyebab utama munculnya dana siluman senilai Rp 12,1 triliun dalam APBD DKI. Sikap ngotot DPRD ini juga dianggap sebagai penyebab utama deadlock pengesahan APBD DKI Jakarta untuk tahun anggaran 2015 yang dibahas dalam mediasi bersama Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama di kantor Kementerian Dalam Negeri, Kamis 5 Maret 2015. Berikut lima kritik Fitra terhadap DPRD dalam pembahasan APBD DKI Jakarta.
1. Mengabaikan Amanat Konstitusi
DPRD Jakarta, kata Yenny, melanggar UUD 1945 Pasal 23 ayat 1 karena lebih mementingkan kepentingan kelompok dibandingkan mengedepankan transparansi dan kemakmuran rakyat. Mereka juga melanggar Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 317. Sesuai undang-undang ini, DPRD hanya berwenang membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh Gubernur. “Kenyataannya DPRD membahas dan menyetujui APBD.”
DPRD DKI Jakarta juga melanggar Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pasal 99 karena DPRD membahas dan menyetujui APBD. Padahal seharusnya kewenangan DPRD hanya melakukan pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap rancangan Perda Provinsi tentang APBD provinsi yang diajukan oleh Gubernur. DPRD juga melanggar tata tertib DPRD DKI Jakarta 2014 yang mengatur kewenangan parlemen daerah hanya sebatas membahas dan menyetujui usulan APBD dari Gubernur.
2. Politisasi Hak Angket.
Yenny mengatakan pengajuan hak angket yang dilakukan DPRD DKI Jakarta cenderung dipolitisasi karena tidak berdasarkan bukti kuat adanya pelanggaran pidana ataupun merugikan keuangan negara. Hak angket juga diduga digalang oleh segelintir anggota DPRD dan tidak mencerminkan kebijakan partai politik.
Politisasi ini terbukti dengan kebijakan sejumlah partai seperti NasDem dan Partai Kebangkitan Bangsa untuk mundur dari hak angket. “Niat dan tujuan hak angket lebih bermotif politik ketimbang menegakkan transparansi dan akuntabilitas,” ujar Yenny. Secara kapasitas, Fitra menilai DPRD belum mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan. Biasanya penyelidikan dilakukan oleh penegek hukum.
3. Dana Siluman Bukan Aspirasi Rakyat
Fitra menduga munculnya dana siluman dalam APBD DKI Jakarta muncul dari kongkalikong politikus dengan pengusaha hitam. Kerja sama itu sudah terjalin lama dan menjadi oligarki. “Ini adalah potensi korupsi.” Analisis Fitra menemukan dalam anggaran versi DPRD, usulan program tidak mencerminkan pemenuhan aspirasi masyarakat. Sebagian besar program lebih berbentuk pengadaan yang merupakan bukti nyata orientasi proyek. Dana siluman itu lebih banyak muncul dalam anggaran untuk Dinas Pendidikan melebihi pagu sebesar Rp 5,3 triliun. Usulan dana siluman dari DPRD ini tercatat tanpa kode mata anggaran dan kode rekening.
4. Lebih Mengutamakan Kepentingan Kelompok
Dari sejumlah program yang diusulkan, Fitra menduga DPRD lebih mengutamakan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan rakyat. Hal ini terlihat dari tak adanya itikad baik DPRD untuk menyelesaikan konflik dengan Ahok saat berlangsungnya mediasi. “DPRD justru memperkeruh suasana, dan mengeluarkan sikap yang bertentangan dengan kode etik.” ujar Yenny.
5. DPRD Lemah Mengawasi Anggaran
Yenny mengatakan selama ini DPRD tak menunjukkan kinerja bagus dalam pengawasan anggara. DPRD justru menggunakan kewenangan penganggaran yang kebablasan. Padahal menurut Yenny, wewenang dan tugas DPRD ini sudah diatur dengan tegas dalam Undang Undang MD3 yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi. “Dalam proses ini, DPRD seharusnya mengarahkan politik anggaran yang berpihak kepada rakyat,” ujar Yenny.
Wakil Ketua DPRD Abraham Lunggana atau yang biasa dipanggil Haji Lulung, membantah tuduhan miring terhadap lembaganya. Menurutnya, semua tudingan adanya dana siluman hingga Rp 12,1 triliun tidak benar. Itu upaya fitnah semata dari Gubernur Jakarta Basuki Purnama dengan tujuan mencari pencitraan dan popularitas semata. "Ngomongnya ngaco, banyak yang harus dilurusin," ujarnya.
DPRD Jakarta akan melaporkan Basuki alias Ahok ke penegak hukum, terkait empat kesalahan. Yakni soal etika dan norma, soal penghinaan terhadap lembaga dan anggota DPRD DKI Jakarta, soal dugaan pemalsuan dokumen APBD DKI Jakarta 2015 dan dugaan suap kepada Ketua DPRD DKI Jakarta.
IRA GUSLINA SUFA