TEMPO.CO, Jakarta - Psikolog forensik Universitas Pancasila Jakarta, Reza Indragiri Amriel, menduga kasus pembegalan yang terjadi hanyalah aksi kriminal di permukaan yang menjadi perantara untuk aksi kriminal lain, tidak sekadar bermotifkan ekonomi.
"Saya melihat begal hanya merupakan kejahatan perantara. Pelaku membegal untuk mengumpulkan sumber daya untuk kejahatan lain yang lebih utama, yang saya duga adalah narkotik, minuman keras, dan prostitusi," kata Reza di Jakarta, Senin, 9 Maret 2015.
Menurut Reza, tindakan pelaku pembegalan telah menyimpang dan menunjukkan gangguan rasional. Dia menduga pelaku berada di bawah pengaruh narkotik, obat-obatan, dan minuman keras, sehingga tindakannya terhadap korban menjadi berlebihan.
"Kalau tujuannya hanya untuk mendapatkan motor, mengapa tindakannya brutal sampai membacok dan lain-lain? Tindakan pelaku terlalu berlebihan," tuturnya.
Karena itu, Reza mengatakan, ada masalah selain pembegalan yang harus diantisipasi polisi dan masyarakat. Tidak cukup polisi menerjunkan tim reaksi cepat untuk memburu begal bila penyebabnya tidak diselesaikan.
Narkotik, minuman keras, dan prostitusi yang menjadi permasalahan utama harus diatasi dan diselesaikan terlebih dulu. Dengan demikian, pembegalan yang hanya menjadi kejahatan perantara bisa diredam.
Terkait dengan aksi main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat terhadap pelaku pembegalan, Reza mengatakan hal tersebut merupakan imbas dari situasi hukum yang dianggap vakum karena keterbatasan polisi dalam menangkap dan menindak pelaku.
"Terdapat dua pelaku pidana dalam kejadian tersebut, yaitu pelaku pembegalan dan orang-orang yang main hakim sendiri. Hal itu disebut vigilantisme," katanya.
Menurut Reza, vigilantisme seharusnya tidak terjadi bila otoritas hukum mampu mengartikulasikan ketakutan dan kemarahan publik terhadap aksi pembegalan yang telah meresahkan masyarakat. Aksi main hakim sendiri merupakan cermin dari krisis kepercayaan publik terhadap otoritas hukum.
"Seharusnya polisi dapat menangkap pembegal, memprosesnya secara hukum bersama kejaksaan untuk dibawa ke pengadilan, dan hakim menjatuhkan hukuman berat sesuai derajat kemarahan korban dan masyarakat," tuturnya.
ANTARA