TEMPO.CO, Jakarta - Petisi warga menolak pembetonan Ciliwung dari Jalan T.B. Simatupang hingga Manggarai melalui Change.org tidak digubris pemerintah. Proyek triliunan rupiah yang berlangsung sejak 2013 itu terus berlanjut dan diklaim sebagai cara terbaik agar rumah penduduk yang tersisa tidak longsor ke badan sungai.
Kepala Balai Besar Sungai Wilayah Ciliwung Cisadane Teuku Iskandar menuturkan pembangunan beton sebagai benteng sungai dimaksudkan untuk mempermudah warga yang ingin mendirikan hunian menghadap sungai. "Prospek ke depannya adalah permukiman permanen disertai ruang terbuka hijau," ucap Iskandar kepada Tempo, Senin, 9 Maret 2015.
Iskandar mengakui ada alasan lain di balik pembangunan turap atau sheet pile setinggi 2 meter dari daratan ini, yakni lahan yang ada hanya cukup untuk memperlebar sungai hingga 50 meter. Jika pinggiran sungai mau langsung ditanam, butuh pembebasan lahan lagi.
Padahal, ujar dia, pembebasan tanah adalah persoalan paling berat proyek ini. Pemerintah akan menanam pohon-pohon dengan daya serap air yang tinggi. Hal ini akan mengurangi cepatnya laju air ke daerah hilir.
Penggagas petisi di Change.org itu menyatakan pembetonan hanya akan mempercepat banjir di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara, karena beton akan menutup akses serapan air. Walhasil, proyek turap ini malah akan membawa Jakarta kepada potensi banjir yang lebih besar. "Apalagi kondisi pompa yang sudah tua dan banyak yang rusak akan memperparah keadaan," tulis penggagas petisi tersebut.
Pembetonan itu adalah rangkaian proyek normalisasi terhadap Kali Ciliwung yang menghabiskan dana sekitar Rp 1,8 triliun. Turap dibangun sepanjang 19 kilometer dengan empat paket pembangunan yang membutuhkan lahan 65 hektare.
Paket tersebut adalah Jalan Casablanca-Kampung Melayu 18 hektare, Kampung Melayu-Jembatan Kalibata 16 hektare, Jembatan Kalibata-Eretan Condet 16 hektare, Eretan Condet-Jalan T.B. Simatupang 15 hektare. "Target penyelesaian proyek ini tahun 2016," kata Teuku Iskandar.
YOLANDA RYAN ARMINDYA