TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang berpendapat modus memasukkan anggaran titipan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah hampir terjadi setiap tahun.
"Faktanya sudah menunjukkan demikian, tapi dari periode ke periode modusnya berbeda," kata Sebastian dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 21 Maret 2015. "Makin ke sini makin canggih polanya."
Sebastian menilai modus anggaran titipan anggota DPRD DKI Jakarta kampungan. Modus itu berbeda dengan yang dilakukan DPR. "Di daerah cenderung lebih jorok mainnya. Kalau di DPR modusnya memainkan penerimaan negara saja," ujarnya.
Sebastian mencontohkan, di suatu daerah--yang tak dia sebutkan namanya--ada bupati yang bersekongkol secara terang-terangan dengan DPRD. Caranya, memberikan jatah alokasi anggaran infrastruktur kepada anggota DPRD untuk disalurkan ke daerah pemilihan masing-masing.
"Tapi anggaran untuk infrastrukturnya itu tanpa disertai dengan konsep perencanaan pembangunan," kata Sebastian. "Jadinya ya sama saja pembangunan tidak terjadi secara nyata."
Sedangkan DPR, kata Sebastian, punya modus yang berbeda. Menurut dia, DPR memainkan pendapatan negara. Misalnya, meminta jatah kepada badan usaha milik negara ketika pemerintah mengumumkan hasil penerimaan negara. "Makanya waktu itu pernah ada kasus, hasil pendapatan negara tiba-tiba bertambah sebesar Rp 30 triliun tanpa ada alasan yang konkret."
REZA ADITYA