TEMPO.CO,Jakarta-- Polisi terus menelurusi kasus pembunuhan Deudeuh Alfisahrin, 26 tahun. Saat ini, penyidik menelusuri jejak pelaku dengan menggunakan teknologi informatika (IT). "Lewat IT, kami mencari petunjuk untuk mengetahui orang terakhir yang bertemu, berkomunikasi, melihat, dan mendatangi korban," ujar juru bicara Polda Metro Jaya Komisaris Besar Martinus Sitompul kemarin.
Menurut Kepala Kepolisian Sektor Tebet, Komisaris I Ketut Sudharma, penyidik sudah memeriksa tujuh saksi. Namun keterangan mereka belum mengarah pada pelaku. Karena itu, penyidik masih berkutat pada barang bukti yang disita dari kamar korban. Misalnya, kondom bekas pakai. “Ada cairan sperma di sana. Ini jadi alat bukti untuk menemukan pelaku,” kata dia.
Berdasarkan hasil autopsi, kata Sudharma, Deudeuh tewas akibat kehabisan napas. Pelaku menjerat lehernya dengan kabel. Tanda-tanda jeratan juga terlihat di leher korban. Selain itu, ditemukan luka di kemaluan korban.
Deudeuh ditemukan tewas di kamar kos di Tebet, Jakarta Selatan, pada 11 April lalu. Perempuan yang diduga bekerja sebagai PSK itu dibunuh oleh tamunya. Namun identitas tamu Deudeuh itu belum diketahui hingga saat ini.
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengatakan kasus kematian Deudeuh menjadi salah satu indikasi pemerintah telah lalai melindungi hak hidup warga negaranya. Sebab, hukum di Indonesia sama sekali tidak memberi perlindungan kepada PSK. "Seharusnya ada aturan yang menjamin hak hidup dan bekerja bagi orang-orang seperti Deudeuh," ujar Adrianus.
Baca Juga:
Salah satu bentuk perlindungan itu adalah dengan membuat lokalisasi pelacuran. Dengan adanya lokalisasi, pemerintah akan lebih mudah mengawasi setiap pekerja dan pengunjung di tempat itu. Namun pemerintah enggan mengambil langkah itu karena alasan melawan moral yang ada di masyarakat. Akibatnya, PSK beraktivitas ilegal dalam dunia “bawah tanah”. "Padahal profesi tersebut punya tingkat kerawanan yang tinggi," ujar Adrianus.
AFRILIA SURYANIS | YOLANDA |G. PARIKESIT | ROBBY IRFANY