TEMPO.CO, Jakarta - Gubenur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, mengatakan ada kesalahpahaman mengenai pendirian lokalisasi. Tak hanya warga DKI, katanya, sebagian besar penduduk Indonesia belum mengakui prostitusi merupakan masalah sosial yang nyata dan sulit dibenahi.
Menurut Ahok, panggilan Basuki, prostitusi mudah ditemukan di banyak sudut di Jakarta. Sebagian masyarakat ada yang memilih diam atau acuh, sebagian reaktif dan menolak keberadaan mereka. "Kita lebih suka yang munafik," kata Ahok di Balai Kota, Selasa, 28 April 2015.
Ahok menjelaskan, ada beberapa penyebab munculnya pemahaman itu. Salah satunya, hilangnya upeti-upeti gelap jika lokalisasi resmi berdiri. Ada perputaran uang bernilai besar pada setiap lokalisasi liar. Lokalisasi resmi bertujuan menata sistem yang ada di dalamnya.
Penyebab lainnya, kata Ahok, yakni belum munculnya kesadaran mengenai risiko penyebaran virus HIV/AIDS seiring dengan meningkat jumlah lokalisasi. Pemerintah DKI akan kesulitan mendeteksi keberadaan para pekerja seks dan memeriksa kesehatan mereka.
Ahok menambahkan, keberadaan lokalisasi resmi membuat kesehatan semua pekerjanya diperiksa secara rutin. Sebagai contoh, pekerja seks komersial di Hong Kong bahkan dilengkapi dengan sertifikat yang menyatakan kondisi kesehatan dan riwayat vaksinasinya. "Sekarang ini kita hanya pura-pura saja kan," kata Ahok.
Ahok melanjutkan, prostitusi tidak akan pernah bisa dihapuskan. Meski pemerintah telah melarang, menurut dia, bisnis prostitusi akan terus berjalan secara sembunyi-sembunyi. Kasus terbaru adalah terungkapnya bisnis seks di rumah kos-kosan di kawasan Tebet dan Apartemen Kalibata City di Jakarta Selatan.
Meski begitu, Ahok menyadari rencana pendirian lokalisasi akan menuai kontroversi. Bahkan Gubernur Ahok berkelakar akan membangun apartemen khusus untuk prostitusi dan diberi tulisan orang suci dilarang masuk. "Saya sadar lokalisasi tak akan bisa dipenuhi dan membubarkan lokalisasi itu kebanggaan," ucap Ahok.
LINDA HAIRANI