TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mendengarkan masukan DPRD dan tokoh masyarakat terkait rencana lokalisasi prostitusi. Keputusan yang diambil para kepala daerah, kata Tjahjo, harus memperhatikan momentum.
"Setiap pengambilan keputusan otonomi daerah harus memperhatikan, mencermati apa yang diinginkan masyarakat. Jadi, momentumnya harus dilihat secara komprehensif," ujar Tjahjo di Kantor Wakil Presiden, Kamis, 30 April 2015.
Menurut Tjahjo, prostitusi adalah masalah kompleks. Karena itu, penanganannya harus menyerap berbagai aspirasi masyarakat. "Apa ada jaminan kalau dilokalisasi tak akan tumbuh di tempat lain?" kata dia.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengkaji wacana legalisasi dan lokalisasi pelacuran. Ide ini diembuskan oleh Ahok. Namun wacana tersebut masih perlu mendapatkan tanggapan dari masyarakat secara umum. Hal yang masih dilakukan pemerintah saat ini adalah mendata dan menertibkan para penghuni apartemen dan rumah susun.
Pada 1970 hingga 1990-an, Jakarta pernah memiliki lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak di Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Saat itu Jakarta dipimpin Gubernur Ali Sadikin.
Lokalisasi tersebut bahkan menjadi kompleks pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Kala itu jumlah pelacur di Kramat Tunggak lebih dari dua ribu di bawah kendali sedikitnya 258 muncikari alias germo.
Lokalisasi Kramat Tunggak menjadi sumber penghidupan lebih dari 700 pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, dan 155 tukang ojek. Belum lagi tukang cuci dan pemilik warung makan yang bertebaran di sekitarnya.
Lahan lokalisasi itu terus berkembang hingga 12 hektare. Namun pada 1999, atas ide Gubernur DKI Sutiyoso, lokalisasi ini ditutup dan di lahannya dibangun Jakarta Islamic Centre.
TIKA PRIMANDARI