Pada Jumat pekan lalu atau 19 Juni 2015, Organda menjebak lima pengemudi dengan berpura-pura memesan taksi lalu menggiring mereka ke Kepolisian Metro Jakarta. Polisi menjerat mereka dengan tuduhan penipuan. Kelimanya kemudian dibebaskan. “Kami akan memanggil saksi lain untuk menentukan siapa yang menipu: sopir atau manajemen Uber,” kata juru bicara Kepolisian Jakarta, Komisaris Besar M. Iqbal.
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama setuju dengan Organda. Ia meminta Uber membuat perusahaan resmi di Indonesia dan berbadan hukum. “Selama belum punya badan hukum, mereka tak boleh beroperasi,” katanya. Menurut Ahok, badan hukum perusahaan transportasi penting agar mereka membayar pajak dan ada jaminan terhadap penumpang. Dengan tak punya badan hukum, meski menguntungkan penumpang, kata Ahok, Uber tak punya niat baik berbisnis di Indonesia.
Hariyanto membantah belum memiliki badan hukum. Koperasi Trans, kata dia, sudah terdaftar di Kementerian Hukum. Namun ia sudah meminta pengelola Uber di Belanda ataupun perwakilannya di Asia membicarakan status Koperasi. Selama ini Koperasi hanya dianggap sebagai penyedia, bukan rekan bisnis. “Ini penting supaya ada pembicaraan juga soal pajak,” kata dia.
Pendapatan 20 persen dari harga yang dibayarkan penumpang selama ini ditransfer langsung ke rekening Uber, sehingga transaksinya tak diketahui untuk dikenai pajak. Sementara taksi pelat kuning dikenai biaya Rp 3.600 per kilometer, taksi Uber Rp 2.850. Uber juga menyediakan jaminan keamanan karena identitas sopir dan pembayaran diberitahukan melalui surat elektronik.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menilai tak ada yang salah dengan Uber. Menurut dia, konflik Uber dengan Organda karena persaingan usaha yang merugikan taksi konvensional. “Kalaupun ditindak, yang melakukannya Kementerian Komunikasi dan Informasi, bukan Dinas Perhubungan,” katanya.
DIMAS SIREGAR | GANGSAR PARIKESIT | JAYADI SUPRIADIN