TEMPO.CO, Jakarta - Sulartini, 66 tahun, adalah salah seorang jemaah haji yang berasal dari embarkasi Jakarta yang telah kembali dari ibadah haji, Selasa, 29 September 2015. Sulartini mengaku ini pertama kali ia menjalani ibadah haji.
“Banyak sekali kejadian di sana. Ada badai pasir tiga kali. Badai pasir yang kedua, kaca hotel kami pecah. Tenda kami di Arafah juga rubuh karena badai. Ada juga kejadian crane jatuh, lalu tragedi Mina,” ujar Sulartini saat ditemui Tempo di Asrama Haji Jakarta, Pondok Gede, Selasa, 29 September 2015. (Lihat video Misteri Penyebab Tragedi Mina)
Sulartini menceritakan, saat tragedi Mina, dia baru saja melakukan ritual lempar jumroh di Terowongan Mina. Setelah itu, Sulartini bersama dengan ketiga orang anggota keluarganya kembali ke hotel pada pukul 03.00 pagi waktu Arab.
“Nggak lama setelah sampai di hotel, ada kejadian di Mina itu sekitar jam tujuh pagi,” ujar wanita yang tinggal di Kelapa Gading tersebut.
Baca juga:
Asap Pekat, Kantor Wali Kota Pekanbaru Jadi Tempat Evakuasi
MRT di Indonesia, Dewi Sandra: Harusnya Sudah 20 Tahun Lalu
Ia mengaku bersyukur bisa menuntaskan ritual lempar jumroh dengan selamat dan terhindar dari peristiwa yang terjadi di Jalan 204. ”Kami betul-betul berjuang hebat sekali, karena dari seluruh dunia bareng kan itu,” katanya.
Jemaah haji lainnya yang berasal dari Tanjung Priok, Hasmidar, 47 tahun, juga merasakan hal yang sama. “Haji kali ini banyak perjuangannya, banyak cobaannya,” ujar wanita yang berangkat haji seorang diri tersebut.
Hasmida bercerita, saat terjadi peristiwa di Jalan 204, dirinya baru saja selesai melakukan lempar jumroh dan sedang dalam perjalanan kembali ke tenda. Tiba-tiba, anak satu-satunya yang berada di Jakarta menelepon. “Mama nggak kenapa-kenapa?” ujar Hasmidar menirukan kata-kata anaknya tersebut.
“Dari situ saya baru tahu kalau ada kejadian itu. Gara-gara orang pada nggak sabaran mungkin, padahal sudah ada jadwalnya,” ujar Hasmidar.
Hasmidar mengaku puas dengan pelayanan yang diberikan selama melaksanakan ibadah haji, terutama terkait konsumsi yang diberikan oleh pihak panitia. “Tapi sayangnya telat pulangnya, kena delay terus. Lama sekali menunggunya di bandara,” tutur Hasmidar.
Deny, keponakan Sulartini, juga mengeluhkan hal yang sama dengan Hasmidar, yakni masalah keterlambatan pesawat. Selain itu, Deny juga mengeluhkan pelayanan di Padang Arafah yang kurang baik. Dia mengaku, tenda miliknya di Arafah sudah rubuh sebelum dirinya datang karena terkena badai.
“Setelah sampai, kami malah disuruh memperbaiki tendanya sendiri. Nggak ada AC-nya juga, padahal saat itu suhu 40-45 derajat. Semoga ke depannya bisa diperbaiki,” ujar Deny.
ANGELINA ANJAR SAWITRI