TEMPO.CO, Jakarta - Sosiolog dan guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Paulus Wirotomo, menekankan pentingnya pendidikan bagi para suporter sepak bola. "Mereka yang siap melakukan apa pun demi timnya ini disebut para fanatik. Perlu ada pendidikan dari dalam kubu suporter agar tidak menjurus ke arah negatif," ujar Paulus saat dihubungi Tempo, Jumat, 16 Oktober 2015.
Perilaku fanatik sendiri, menurut Paulus, bisa terjadi karena beberapa hal. "Biasanya karena orang itu tidak memiliki sumber kebanggaan lain, atau minim prestasi, atau mengalami kekosongan," katanya. Hal tersebut kemudian membuat mereka meletakkan kebanggaannya pada tim favorit. Perilaku ini, menurut dia, biasanya ditemukan pada masyarakat ekonomi kelas rendah.
Jika ditambah dengan teman-teman yang bernasib sama dan berjumlah besar, akan membuat orang itu ikut terbawa perilaku massa. "Ini disebut psikologi massa. Orang yang tidak ganas jika berada dalam lingkungan yang salah bisa terbawa menjadi ganas," tutur Paulus.
Karena itu, menurut Paulus, suporter harus dibina dan didampingi dengan pengawasan yang baik agar tidak menjurus pada perilaku negatif, seperti kerusuhan. Hal ini harus dilakukan dari dalam suporter itu sendiri. "Sering sekali malah pendidikannya untuk memanas-manasi," ucap Paulus. Seperti menyebarkan permusuhan kepada suporter lawan.
Selain lewat suporter sendiri, Paulus menegaskan pentingnya fungsi aparat untuk mengatur ulah suporter yang masih nakal. "Kalau sama polisinya dibiarkan, mereka juga bakal makin merasa bahwa mereka bisa bebas bertindak," katanya.
Minggu, 18 Oktober 2015, Persib Bandung berhadapan dengan Sriwijaya FC di Gedung Gelora Bung Karno, Jakarta. Suporter Persib Bandung alias bobotoh mempunyai sejarah perseteruan dengan suporter Persija Jakarta, The Jakmania. Kedatangan suporter Persib Bandung dikhawatirkan memicu kerusuhan di Jakarta. Polda Metro Jaya menetapkan siaga 1 di Jakarta pada hari ini.
EGI ADYATAMA